Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah “Sistem Ekonomi Islam“
Dosen
pembimbing :
Drs.
Hasanudin, MA
Disusun Oleh :
Siti Khoeriyah 1112053100033
JURUSAN
MANAJEMEN HAJI DAN UMROH
FAKULTAS ILMU
DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
Puji syukur kehadirat Allah karena izin-Nya jualah sehingga penulis dapat
mewujudkan semua ini. Melalui usaha keras di tengah hambatan dan keterbatasan,
penulis mencoba melakukan yang terbaik untuk menyusun makalah ini dengan judul
"TEORI
DISTRIBUSI ISLAMI".
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh
penulis, baik dalam hal pengetahuan dan pengalaman.
Karena itu,
sebagai penulis saya mengharapkan dengan sangat dan dengan tangan terbuka
segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini selanjutnya. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada orang-orang yang membacanya, terutama kepada penulis
sendiri.
Penulis juga
mengucapkan terima kasih atas segala bantuan, petunjuk, saran dorongan dan izin
yang telah diberikan dari berbagai pihak semoga bernilai ibadah dan mendapatkan
imbalan yang berlipat ganda. SemogaAllah SWT memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita semua. Amin Ya Robbal Alamin.
Depok, 08 Mei 2014
Penulis
Chapra (2000) menyatakan bahwa salah satu masalah utama
dalam kehidupan sosial di masyarakat adalah mengenai cara melakukan
pangalokasian dan pendistribusian sumber daya yang langka tanpa harus
bertentangan dengan tujuan makro ekonominya. Kesenjangan dan kemiskinan pada
dasarnya muncul karena mekanisme distribusi yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Masalah ini tidak terjadi karena perbedaan kuat dan lemahnya akal
serta fisik manusia sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan perolehan
kekayaan karena hal itu adalah fitrah yang pasti terjadi. Tetapi permasalahan
yang sesungguhnya terjadi adalah karena penyimpangan distribusi yang secara
akumulatif berakibat pada kesenjangan kesempatan memperoleh kekayaan. Yang kaya
akan semakin kaya dan yang miskin tidak memiliki kesempatan bekerja. Kesalahan
menjalankan kebijakan sistem ekonomi termasuk mekanisme distribusi inilah yang
menyebabkan munculnya praktik monopoli dan individualis, sekaligus rusaknya
pengelolaan hak milik pribadi, milik umum dan negara. Maka pada saat itulah
akan terjadi kerusakan dalam distribusi kekayaan kepada pribadi. Oleh karena
itu, dari latar belakang inilah maka mempelajari teori distribusi islami
menjadi sangat penting.
Rumusan masalah dari makalah ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan distribusi?
2. Apa yang dimaksud dengan distribusi pendapatan dan distribusi kekayaan?
3. Bagaimana dampak distribusi dalam islam?
4. Apa yang dimaksud dengan infak dan maksimasi utility?
Tujuan penulisan makalah ini, yaitu agar mahasiswa dapat:
1. Mengetahui dan memahami pengertian distribusi.
2. Mengetahui dan memahami arti dari distribusi pendapatan dan distribusi
kekayaan.
3. Mengetahui dan memahami dampak distribusi dalam Islam.
4. Mengetahui dan memahami arti dari infak dan maksimasi utility.
Pengertian distribusi menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penyaluran
(pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat;
pembagian barang keperluan sehari-hari (terutama dalam masa darurat) oleh
pemerintah kepada pegawai negeri, penduduk, dsb.[1] Kemudian dalam ekonomi Islam, distribusi dibagi menjadi
dua, yaitu distribusi pendapatan dan distribusi kekayaan.
Distribusi pendapatan terdiri dari dua kata, yaitu
distribusi dan pendapatan. Menurut KBBI, distribusi bermakna pembagian,
penyaluran, dan pengiriman, sedangkan pendapatan artinya adalah hasil kerja
usaha, pencarian, dsb.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
distribusi pendapatan adalah suatu usaha penyaluran dan pembagian hasil kerja
usaha, niaga, ataupun jasa dengan berupa uang atau harta kepada setiap anggota
masyarakat. Adapun distribusi pendapatan dapat terbagi menjadi dua, yaitu yang
bersumber dari tanah dan sejenisnya biasa disebut dengan sewa, dan bersumber
dari tenaga kerja yang disebut dengan upah.[2]
Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama’ mengenai keabsahan
sewa. Hal ini di sebabkan karena Rasulullah pernah melarang melakukan penyewaan
tanah namun pada kesempatan lain Rasulullah memperbolehkan aktivitas itu baik
secara tunai maupun bagi hasil. Rahman menegaskan bahwa mengenai sewa ada kelompok
pemikir yang menganggap system bagi hasil sebagai sesuatu yang tidak sah atau
haram. Pendapat ini didasarkan atas hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa
rasulullah melarang penyerahan tanah dengan persewaan dan pembagian hasil
dengan mengambil hasil tanah.[3]
Rasulullah juga memerintahkan kepada pemilik tanah agar menggarap
tanah mereka sendiri atau menyerahkan kepada orang lain tannpa memungut
pembayaran sewa. Karena Nabi saw tidak menyukai sewa dalam bentuk apapun.
Alasan larangan sewa tersebut didasarkan adanya indikasi bahwa penggarap tanah
akan di eksploitasi semata- mata untuk kepentingan pemilik tanah sehingga hal
ini di larang.[4] Namun
dalam keterangan lebih lanjut mannan mengatakan bahwa sewa di pandang dari hukum
islam tidak bertentangan dengan ekonomi islam. Menurutnya mengenai sewa usaha
produktif diperlukan dalam proses menciptakan nilai secara bersama karena
pemilik modal dan pengusaha ikut berperan aktif dalam produksi barang atau
jasa. Pengambilan sewa harus di dasarkan pada prinsip “tidak menganiaya
atau dianiaya”. Hal tersebut juga dijelaskan pada surat Al Baqaroh: 279.
فإن لم تفعلوا
فأ ذنوا بحرب من الله ورسوله وإن تبتم فلكمءوس اموا لكم لاتطلعون ولا تظلمون
“Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Alloh
dan rosulnya, tetapi jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok hartamu,
kamu tidak berbuat dzolim (merugikan) dan tidak di dzolimi atau
dirugikan.”
Upah adalah harga yang dibayarkan kepada
pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan seperti faktor produksi lainnya,
tenaga kerja diberikan imbalan atas jasanya. Dengan kata lain, upah adalah
harga dari tenaga yang dibayar atas jasanya dalam produksi.[5] Sedangkan tenaga kerja adalah salah satu factor produksi. Dalam hal ini yang dimaksudkan
adalah usaha yang dilakukan manusia baik dalam bentuk fisik maupun mental dalam
rangka menghasilkan produk dalam bentuk barang maupun jasa. Hasil produk ini
nilainya diukur dengan kemampuannya menambah manfaat atas barang atau jasa yang
sudah ada.[6]
Sadeq menyebutkan beberapa ketentuan yang menjamin
diperlakukannya tenaga kerja secara manusiawi, diantaranya yaitu:[7]
1. Hubungan antara musta’jir dan ajir adalah hubungan persaudaraan yang
manusiawi secara menyeluruh.
2. Beban kerja dan lingkungan yang melingkupinya harus memperhatikan
nilai-nilai kemanusiaan.
3. Tingkat upah minimum hendaknya mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar dari
para tenaga kerja.
Ada perbedaan pendapat yang besar di kalangan
ahli ekonomi mengenai masalah penetapan upah. Sebagian mengatakan upah
ditetapkan berdasarkan tingkat kebutuhan hidup, lainnya menetapkan berdasarkan
ketentuan Produktivitas Marginal. Kemudian Islam menawarkan suatu penyelesaian
yang sangat baik atas masalah upah dan menyelamatkan kepentingan kedua belah
pihak, kelas pekerja dan para majikan tanpa melanggar hak-hak yang sah dari
majikan, yaitu melalui prinsip pemerataan terhadap semua makhluk sebagaimana
tercantum dalam surat Al Baqarah: 279.[8]
Adalah merupakan realitas bahwa masyarakat beranggotakan
beragam jenis orang; ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang terampil ada yang
tidak terampil. Karena itu secara alamiah akan terjadi kesenjangan. Untuk
itulah diperlukan
distribusi agar kesenjangan ini dapat dipersempit, baik melalui distribusi
pendapatan maupun distribusi kekayaan. Didalam islam, distribusi dapat mengambil beberapa bentuk seperti
zakat, infaq, shadaqah, wakaf, warisan, hibah, wasiat, qurban, aqiqah dan
lainnya.[9] Tetapi dalam makalah ini akan dibahas dua saja,
yaitu zakat dan wakaf.
Zakat menurut bahasa artinya berkembang
(an-namaau), berarti juga pensucian (tathhir). Sedangkan menurut istilah
syara’, zakat memiliki dua makna tersebut yaitu berkembang dan pensucian.
Karena dengan mengeluarkan zakat menjadi sebab timbulnya berkah dan bersihnya
pada harta. Seperti yang dinyatakan dalam sebuah hadist, “tidak berkurang
harta karena sedekah (dikeluarkan zakatnya).”[10]
Tujuan utama zakat adalah membantu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan orang yang miskin dan melarat sehingga tidak ada seorang
pun yang menderita dalam suatu Negara. Dan zakat tersebut dikumpulkan dari
orang-orang kaya kemudian dibelanjakan untuk orang-orang miskin, hal tersebut
sangat membantu dalam penyebaran kekayaan dalam masyarakat.[11] Adapun sasarannya bukan agar semua orang
memiliki bagian secara sama rata, tetapi agar tidak terjadi suasana
ketimpangan. Sebab bermula dari ketimpangan materi (ekonomi), ketimpangan
dibidang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja mengikuti.[12]
Dengan demikian menjadi jelas bahwa membayar
zakat merupakan kewajiban agama yang dibebankan kepada orang kaya agar dapat
membantu anggota masyarakat yang miskin. Dengan cara ini Islam menjaga harta di
dalam masyarakat tetap dalam sirkulasi dan tidak terkonsentrasi di tangan
segelintir orang saja. Prinsip dasar Islam ini dinyatakan dengan pernyataan
sebagai berikut yang artinya:[13]
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (Al Hasyr: 7)
Di dalam aplikasinya yang lebih luas, ayat
al-qur’an tersebut memberikan penjelasan bahwa penumpukan harta di tangan
segelintir orang saja adalah tidak wajar, tidak adil dan tidak
berperikemanusiaan, sehingga tidak dapat ditolerir. Ini bukan berarti bahwa
orang-orang kaya harus dirampok hartanya, tetapi apa yang dianjurkan dalam ayat
itu adalah ketimpangan ekonomi di kalangan masyarakat (atau perbedaan kelompok
di dalam masyarakat) tidak boleh berkembang hingga melampaui batas kewajaran
dan keadilan sehingga hanya segelintir orang hidup bergelimang dalam kemewahan
yang berlebih-lebihan di tengah masyarakat banyak yang mungkin tetap hidup
dalam kemiskinan dan kelaparan.
Kata “Wakaf” atau “Wacf”’ berasal dari bahasa arab “Waqafa”. Asal
kata “Waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau
“tetap berdiri”. Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan
“Habasa-Yahbisu-Tahbisan”. Kata al-Waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa
pengertian:
الوقف بمعنى
التحبيس والتسبيل
Artinya
:
a. Menurut mahzab syafi’i
Wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya
dengan tetap utuhnya barang tersebut terlepas dari milik orang yang sudah
mewakafkannya serta dimanfaatkan untuk sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.
b. Menurut Mahzab Hambali
Wakaf adalah menahan secara mutlak kebebasan pemilik
harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta
dan memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta tersebut, sedangkan
manfaatnya diperuntukan bagi kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
Dari keseluruhan definisi wakaf yang
dikemukakan di atas tampak secara jelas bahwa wakaf berarti menahan harta yang
dimiliki untuk diambil manfaatnya bagi kemaslahatan umat dan agama.
Secara umum memang tidak terdapat ayat
al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara konkrit tekstual. Wakaf termasuk
infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan
konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan
tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain yang
artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S al-Baqarah:267).
Di Indonesia, dalam memasuki milenium ketiga ini, berbagai elemen
masyarakat mencoba mensosialisasikan wakaf tunai dengan berbagai cara. Bukan
saja tahap sosialisasi ini berjalan tanpa aplikasi, malah sudah ada lembaga
tertentu yang mencoba mengaplikasikannya, dan banyak juga masyarakat yang
tertarik untuk ikut serta berkontribusi untuk itu. Adapun sasaran wakaf tunai
menurut Prof. Dr. M.A Manan, diantaranya yaitu:[16]
Pertama, kemanfaatan
bagi kesejahteraan pribadi (dunia-akhirat). Renungannya, saat lahir seseorang
miskin, mati pun kembali miskin dan semua berakhir kecuali tiga perkara yang
salah satunya amal jariyah. Maka wakaf tunai dapat menjadi sedekah jariyah yang
berperan mengantar kesejahteraan dunia-akhirat seseorang.
Kedua, kemanfaatan
bagi kesejahteraan keluarga (dunia akhirat). Ini bisa menjadi wujud
tanggungjawab sosial kita kepada orangtua, istri, anak-anak atau anggota
keluarga yang lain.
Ketiga, pembangunan
sosial. Wakaf tunai bisa membuka banyak peluang untuk membantu masyarakat. Dari
profit wakaf tunai, seseorang dapat membantu memberikan bantuan yang berharga
bagi pendirian atau pun operasionalisasi lembaga-lembaga pendidikan maupun
masjid. Wakaf tunai dapat pula membantu terlaksananya proyek-proyek pendidikan,
riset, keagamaan, kesejahteraan sosial, pengobatan dan perawatan kesehatan bagi
kaum dhuafa, dan penghapusan kemiskinan. Wakaf tunai juga bisa dimanfaatkan
untuk beasiswa pelajar/mahasiswa. Bisa disimpulkan, kemanfaatan wakaf tunai
bersifat abadi, berbeda dengan derma temporer, wakaf tunai bisa direncanakan
secara baik dan bersifat abadi sehingga banyak kelompok masyarakat dapat
emnikmati hasilnya secara terus-menerus.
Keempat, membangun
masyarakat sejahtera: jaminan sosial bagi si miskin dan jaminan keamanan sosial
bagi si kaya. Wakaf tunai dalam tahap yang makin baik, menjadi wahana
terciptanya kepedulian dan kasih sayang si kaya terhadap si miskin, sehingga
tercipta hubungan harmonis dan kerjasama yang baik. Wakaf tunai bisa diandalkan
menebar manfaat di bidang ekonomi dan sosial bagi masyarakat secara
keseluruhan.
Distribusi
pendapatan merupakan bagian yang penting dalam membentuk kesejahteraan. Dampak
dari distribusi pendapatan bukan saja pada aspek ekonomi tetapi juga aspek
sosial dan politik. Oleh karena itu islam memberi perhatian lebih terhadap
disribusi pendapatan masyarakat. Maka islam memperhatikan berbagai sisi dari
perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Misalnya dalam jual-beli, hutang
piutang, dan sebagainya. Dampak yang ditimbulkan dari distribusi pendapatan yang
didasarkan atas konsep islam, diantaranya yaitu:[17]
a.
Dalam
konsep islam perilaku distribusi pendapatan masyarakat merupakan bagian dari
bentuk proses kesadaran masyarakat dalam mendekatkan diri kepada Allah.
b.
Seorang
muslim akan menghindari praktek distribusi yang menanggung barang-barang yang
merusak masyarakat. Misalnya, minuman keras, obat terlarang.
c.
Negara
bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dengan mengedepankan
kepentingan umum daripada kepentingan kelompok.
d.
Negara
mempunyai tanngung jawab untuk menyediakan fasilitas public yang berhubungan
dengan masalah optimalisasi distribusi pendapatan, seperti sekolah, rumah
sakit.
Dalam ekonomi konvensional ada yang dikenal dengan
istilah asumsi rasional yaitu anggapan bahwa manusia berperilaku secara
rasional (masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat keputusan yang
akan menjadikan mereka lebih buruk. Adapun jenisnya terbagi menjadi dua, yaitu
self interest rationality dan present-aim rationality.[18] Dalam definisi present-aim yang penting adalah bagaimana
mencapai tujuan dengan efisien tanpa mempermasalahkan tujuannya. Misalnya yaitu
seorang yang mempunyai perilaku merusak dirinya sendiri, tingkah laku rasional
baginya adalah bagaimana cara yang efisien untuk merusak dirinya. Sedangkan
dalam definisi self interest, diasumsikan motif (niat) lah yang mendorong ia
melakukan suatu perbuatan.[19] Misalnya yaitu dalam pemberian infak, Lukman
yang tidak saja memikirkan pendapatannya, tetapi juga memikirkan pendapatan
Arief. Secara matematis fungsi utility Lukman adalah:
UL = l(Ml, Ma)
Di mana:
UL = utility Lukman
Ml = pendapatan Lukman
Ma =
pendapatan Arief
Secara grafis keadaan ini digambarkan dengan pendapatan
Arief pada sumbu X, dan pendapatan Lukman pada sumbu Y. Kurva indifference
Lukman mempunyai slope negatif yang berarti ia dapat mentolerir pendapatannya
berkurang untuk kenaikan pendapatan Arief.
A.
Kesimpulan
Distribusi dalam KBBI diartikan sebagai
penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa
tempat. Dalam ekonomi Islam, distribusi dibagi menjadi dua, yaitu distribusi
pendapatan dan distribusi kekayaan. Distribusi pendapatan bersumber dari tanah
dan sejenisnya disebut dengan sewa, sedangkan yang bersumber dari tenaga kerja
disebut dengan upah. Adapun distribusi kekayaan bersumber dari dana
zakat, infaq, shadaqah, warisan, hibah, wasiat, wakaf, qurban, dan lain-lain.
Beberapa dampak yang ditimbulkan dari distribusi pendapatan yang didasarkan
atas konsep islam, diantaranya yaitu: (1) dalam konsep islam perilaku
distribusi pendapatan masyarakat merupakan bagian dari bentuk proses kesadaran
masyarakat dalam mendekatkan diri kepada Allah, (2) seorang muslim akan
menghindari praktek distribusi yang menanggung barang-barang yang merusak
masyarakat misalnya, minuman keras, obat terlarang,(3) Negara bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dengan
mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan kelompok, (4) Negara
mempunyai tanngung jawab untuk menyediakan fasilitas public yang berhubungan
dengan masalah optimalisasi distribusi pendapatan, seperti sekolah, rumah
sakit.
Jadi inti dari teori distribusi islami itu adalah untuk memberikan
kemaslahatan kepada umat, dimana semuanya itu diterapkan berdasarkan sumbernya
yaitu al-qur’an dan hadits.
Hasanudin, Sistem Ekonomi Islam
(Jakarta: FDK Press, 2008)
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, jilid 2. Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Manan, Muhammad Abdul, Ekonomi Islam: Teori dan Prakktek,
(terjemahan), Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf,
1993.
M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, jilid III, Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Wakaf, 1996.
Harahap, Sumuran, Fiqh
Wakaf, Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam, Departemen Agama RI, 2007.
Karim, Adiwarman A., Ekonomi Mikro Islami,
Edisi ketiga, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
[1] Kamus besar
bahasa indonesia online, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada tanggal 23/05/2014 pukul
14:25.
[3]
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi
Islam, jilid 2 (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 279.
[4] Muhammad Abdul Manan, Ekonomi Islam: Teori dan Prakktek,
(terjemahan), Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1993, h.56.
[6]
http://fatimaajja.blogspot.com/2012/06/teori-distribusi-pendapatan-dan.html, diakses pada tanggal 25/05/14 pukul
08:20.
[10]
M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi
Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 222.
[11]
Afzalur Rahman, Doktrin
Ekonomi Islam..., hlm. 109-110.
[13]
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi
Islam, jilid III (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1996), hlm. 250.
[14] Sumuran Harahap, Fiqh Wakaf (Jakarta
: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam, Departemen Agama RI, 2007), hal, 1.
[15] http://sumut.kemenag.go.id/file/dokumen/WAKAFSOSIALMASADEPAN.pdf, diakses pada tanggal 23/05/2014 pukul
22:10.
[16] http://miftahuljuaharifahmi.blogspot.com/2012/05/makalah-wakaf.html, diakses pada tanggal 24/05/14 pukul
21:14.
[17] http://sitirahmatulummah.wordpress.com/2010/04/20/keadilan-distribusi-pendapatan/, diakses pada tanggal 24/05/2014 pukul 21:35.
[18]
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro
Islami, Edisi ketiga (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 51.
[19]
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro
Islami...., hlm. 223.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar