Selasa, 30 Desember 2014

Teori Distribusi Islam

TEORI DISTRIBUSI ISLAMI
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah “Sistem Ekonomi Islam“

Dosen pembimbing :
Drs. Hasanudin, MA
Description: Description: http://ts2.mm.bing.net/th?id=H.4539807027954841&pid=15.1&H=160&W=160

Disusun Oleh :
Siti Khoeriyah             1112053100033



JURUSAN MANAJEMEN HAJI DAN UMROH
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014



Puji syukur kehadirat Allah karena izin-Nya jualah sehingga penulis dapat mewujudkan semua ini. Melalui usaha keras di tengah hambatan dan keterbatasan, penulis mencoba melakukan yang terbaik untuk menyusun makalah ini dengan judul "TEORI DISTRIBUSI ISLAMI".
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh penulis, baik dalam hal pengetahuan dan pengalaman.
Karena itu, sebagai penulis saya mengharapkan dengan sangat dan dengan tangan terbuka segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini selanjutnya. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan  manfaat kepada orang-orang yang membacanya, terutama kepada penulis sendiri.
Penulis juga mengucapkan terima kasih atas segala bantuan, petunjuk, saran dorongan dan izin yang telah diberikan dari berbagai pihak semoga bernilai ibadah dan mendapatkan imbalan yang berlipat ganda. SemogaAllah SWT memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin Ya Robbal Alamin. 

Depok, 08 Mei 2014

Penulis









Chapra (2000) menyatakan bahwa salah satu masalah utama dalam kehidupan sosial di masyarakat adalah mengenai cara melakukan pangalokasian dan pendistribusian sumber daya yang langka tanpa harus bertentangan dengan tujuan makro ekonominya. Kesenjangan dan kemiskinan pada dasarnya muncul karena mekanisme distribusi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masalah ini tidak terjadi karena perbedaan kuat dan lemahnya akal serta fisik manusia sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan perolehan kekayaan karena hal itu adalah fitrah yang pasti terjadi. Tetapi permasalahan yang sesungguhnya terjadi adalah karena penyimpangan distribusi yang secara akumulatif berakibat pada kesenjangan kesempatan memperoleh kekayaan. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin tidak memiliki kesempatan bekerja. Kesalahan menjalankan kebijakan sistem ekonomi termasuk mekanisme distribusi inilah yang menyebabkan munculnya praktik monopoli dan individualis, sekaligus rusaknya pengelolaan hak milik pribadi, milik umum dan negara. Maka pada saat itulah akan terjadi kerusakan dalam distribusi kekayaan kepada pribadi. Oleh karena itu, dari latar belakang inilah maka mempelajari teori distribusi islami menjadi sangat penting.

Rumusan masalah dari makalah ini, yaitu:
1.      Apa yang dimaksud dengan distribusi?
2.      Apa yang dimaksud dengan distribusi pendapatan dan distribusi kekayaan?
3.      Bagaimana dampak distribusi dalam islam?
4.      Apa yang dimaksud dengan infak dan maksimasi utility?

Tujuan penulisan makalah ini, yaitu agar mahasiswa dapat:
1.      Mengetahui dan memahami pengertian distribusi.
2.      Mengetahui dan memahami arti dari distribusi pendapatan dan distribusi kekayaan.
3.      Mengetahui dan memahami dampak distribusi dalam Islam.
4.      Mengetahui dan memahami arti dari infak dan maksimasi utility.





Pengertian distribusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat; pembagian barang keperluan sehari-hari (terutama dalam masa darurat) oleh pemerintah kepada pegawai negeri, penduduk, dsb.[1] Kemudian dalam ekonomi Islam, distribusi dibagi menjadi dua, yaitu distribusi pendapatan dan distribusi kekayaan.
Distribusi pendapatan terdiri dari dua kata, yaitu distribusi dan pendapatan. Menurut KBBI, distribusi bermakna pembagian, penyaluran, dan pengiriman, sedangkan pendapatan artinya adalah hasil kerja usaha, pencarian, dsb.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa distribusi pendapatan adalah suatu usaha penyaluran dan pembagian hasil kerja usaha, niaga, ataupun jasa dengan berupa uang atau harta kepada setiap anggota masyarakat. Adapun distribusi pendapatan dapat terbagi menjadi dua, yaitu yang bersumber dari tanah dan sejenisnya biasa disebut dengan sewa, dan bersumber dari tenaga kerja yang disebut dengan upah.[2]
Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama’ mengenai keabsahan sewa. Hal ini di sebabkan karena Rasulullah pernah melarang melakukan penyewaan tanah namun pada kesempatan lain Rasulullah memperbolehkan aktivitas itu baik secara tunai maupun bagi hasil. Rahman menegaskan bahwa mengenai sewa ada kelompok pemikir yang menganggap system bagi hasil sebagai sesuatu yang tidak sah atau haram. Pendapat ini didasarkan atas hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa rasulullah melarang penyerahan tanah dengan persewaan dan pembagian hasil dengan mengambil hasil tanah.[3]
Rasulullah juga memerintahkan kepada pemilik tanah agar menggarap tanah mereka sendiri atau menyerahkan kepada orang lain tannpa memungut pembayaran sewa. Karena Nabi saw tidak menyukai sewa dalam bentuk apapun. Alasan larangan sewa tersebut didasarkan adanya indikasi bahwa penggarap tanah akan di eksploitasi semata- mata untuk kepentingan pemilik tanah sehingga hal ini di larang.[4] Namun dalam keterangan lebih lanjut mannan mengatakan bahwa sewa di pandang dari hukum islam tidak bertentangan dengan ekonomi islam. Menurutnya mengenai sewa usaha produktif diperlukan dalam proses menciptakan nilai secara bersama karena pemilik modal dan pengusaha ikut berperan aktif dalam produksi barang atau jasa. Pengambilan sewa harus di dasarkan pada prinsip “tidak menganiaya atau dianiaya”. Hal tersebut juga dijelaskan pada surat Al Baqaroh: 279.
فإن لم تفعلوا فأ ذنوا بحرب من الله ورسوله وإن تبتم فلكمءوس اموا لكم لاتطلعون ولا تظلمون
“Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Alloh dan rosulnya, tetapi jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok hartamu, kamu tidak berbuat dzolim (merugikan) dan tidak di dzolimi atau dirugikan.” 
Upah adalah harga yang dibayarkan kepada pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan seperti faktor produksi lainnya, tenaga kerja diberikan imbalan atas jasanya. Dengan kata lain, upah adalah harga dari tenaga yang dibayar atas jasanya dalam produksi.[5] Sedangkan tenaga kerja adalah salah satu factor produksi. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah usaha yang dilakukan manusia baik dalam bentuk fisik maupun mental dalam rangka menghasilkan produk dalam bentuk barang maupun jasa. Hasil produk ini nilainya diukur dengan kemampuannya menambah manfaat atas barang atau jasa yang sudah ada.[6]
Sadeq menyebutkan beberapa ketentuan yang menjamin diperlakukannya tenaga kerja secara manusiawi, diantaranya yaitu:[7]
1.      Hubungan antara musta’jir dan ajir adalah hubungan persaudaraan yang manusiawi secara menyeluruh.
2.      Beban kerja dan lingkungan yang melingkupinya harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan.
3.      Tingkat upah minimum hendaknya mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar dari para tenaga kerja.
Ada perbedaan pendapat yang besar di kalangan ahli ekonomi mengenai masalah penetapan upah. Sebagian mengatakan upah ditetapkan berdasarkan tingkat kebutuhan hidup, lainnya menetapkan berdasarkan ketentuan Produktivitas Marginal. Kemudian Islam menawarkan suatu penyelesaian yang sangat baik atas masalah upah dan menyelamatkan kepentingan kedua belah pihak, kelas pekerja dan para majikan tanpa melanggar hak-hak yang sah dari majikan, yaitu melalui prinsip pemerataan terhadap semua makhluk sebagaimana tercantum dalam surat Al Baqarah: 279.[8]
Adalah merupakan realitas bahwa masyarakat beranggotakan beragam jenis orang; ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang terampil ada yang tidak terampil. Karena itu secara alamiah akan terjadi kesenjangan. Untuk itulah diperlukan distribusi agar kesenjangan ini dapat dipersempit, baik melalui distribusi pendapatan maupun distribusi kekayaan. Didalam islam, distribusi dapat mengambil beberapa bentuk seperti zakat, infaq, shadaqah, wakaf, warisan, hibah, wasiat, qurban, aqiqah dan lainnya.[9] Tetapi dalam makalah ini akan dibahas dua saja, yaitu zakat dan wakaf.
Zakat menurut bahasa artinya berkembang (an-namaau), berarti juga pensucian (tathhir). Sedangkan menurut istilah syara’, zakat memiliki dua makna tersebut yaitu berkembang dan pensucian. Karena dengan mengeluarkan zakat menjadi sebab timbulnya berkah dan bersihnya pada harta. Seperti yang dinyatakan dalam sebuah hadist, “tidak berkurang harta karena sedekah (dikeluarkan zakatnya).”[10]
Tujuan utama zakat adalah membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang yang miskin dan melarat sehingga tidak ada seorang pun yang menderita dalam suatu Negara. Dan zakat tersebut dikumpulkan dari orang-orang kaya kemudian dibelanjakan untuk orang-orang miskin, hal tersebut sangat membantu dalam penyebaran kekayaan dalam masyarakat.[11] Adapun sasarannya bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, tetapi agar tidak terjadi suasana ketimpangan. Sebab bermula dari ketimpangan materi (ekonomi), ketimpangan dibidang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja mengikuti.[12]
Dengan demikian menjadi jelas bahwa membayar zakat merupakan kewajiban agama yang dibebankan kepada orang kaya agar dapat membantu anggota masyarakat yang miskin. Dengan cara ini Islam menjaga harta di dalam masyarakat tetap dalam sirkulasi dan tidak terkonsentrasi di tangan segelintir orang saja. Prinsip dasar Islam ini dinyatakan dengan pernyataan sebagai berikut yang artinya:[13]
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (Al Hasyr: 7)
Di dalam aplikasinya yang lebih luas, ayat al-qur’an tersebut memberikan penjelasan bahwa penumpukan harta di tangan segelintir orang saja adalah tidak wajar, tidak adil dan tidak berperikemanusiaan, sehingga tidak dapat ditolerir. Ini bukan berarti bahwa orang-orang kaya harus dirampok hartanya, tetapi apa yang dianjurkan dalam ayat itu adalah ketimpangan ekonomi di kalangan masyarakat (atau perbedaan kelompok di dalam masyarakat) tidak boleh berkembang hingga melampaui batas kewajaran dan keadilan sehingga hanya segelintir orang hidup bergelimang dalam kemewahan yang berlebih-lebihan di tengah masyarakat banyak yang mungkin tetap hidup dalam kemiskinan dan kelaparan.
Kata “Wakaf” atau “Wacf”’ berasal dari bahasa arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”. Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”. Kata al-Waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian:
الوقف بمعنى التحبيس والتسبيل
Artinya :
“Menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindahmilikkan.[14]
Sedangkan pengertian wakaf menurut para ulama fiqih antara lain:[15]
a.      Menurut mahzab syafi’i
Wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang tersebut terlepas dari milik orang yang sudah mewakafkannya serta dimanfaatkan untuk sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.
b.      Menurut Mahzab Hambali
Wakaf adalah menahan secara mutlak kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta tersebut, sedangkan manfaatnya diperuntukan bagi kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dari keseluruhan definisi wakaf yang dikemukakan di atas tampak secara jelas bahwa wakaf berarti menahan harta yang dimiliki untuk diambil manfaatnya bagi kemaslahatan umat dan agama.
Secara umum memang tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara konkrit tekstual. Wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S al-Baqarah:267).
Di Indonesia, dalam memasuki milenium ketiga ini, berbagai elemen masyarakat mencoba mensosialisasikan wakaf tunai dengan berbagai cara. Bukan saja tahap sosialisasi ini berjalan tanpa aplikasi, malah sudah ada lembaga tertentu yang mencoba mengaplikasikannya, dan banyak juga masyarakat yang tertarik untuk ikut serta berkontribusi untuk itu. Adapun sasaran wakaf tunai menurut Prof. Dr. M.A Manan, diantaranya yaitu:[16]
Pertama, kemanfaatan bagi kesejahteraan pribadi (dunia-akhirat). Renungannya, saat lahir seseorang miskin, mati pun kembali miskin dan semua berakhir kecuali tiga perkara yang salah satunya amal jariyah. Maka wakaf tunai dapat menjadi sedekah jariyah yang berperan mengantar kesejahteraan dunia-akhirat seseorang.
Kedua, kemanfaatan bagi kesejahteraan keluarga (dunia akhirat). Ini bisa menjadi wujud tanggungjawab sosial kita kepada orangtua, istri, anak-anak atau anggota keluarga yang lain.
Ketiga, pembangunan sosial. Wakaf tunai bisa membuka banyak peluang untuk membantu masyarakat. Dari profit wakaf tunai, seseorang dapat membantu memberikan bantuan yang berharga bagi pendirian atau pun operasionalisasi lembaga-lembaga pendidikan maupun masjid. Wakaf tunai dapat pula membantu terlaksananya proyek-proyek pendidikan, riset, keagamaan, kesejahteraan sosial, pengobatan dan perawatan kesehatan bagi kaum dhuafa, dan penghapusan kemiskinan. Wakaf tunai juga bisa dimanfaatkan untuk beasiswa pelajar/mahasiswa. Bisa disimpulkan, kemanfaatan wakaf tunai bersifat abadi, berbeda dengan derma temporer, wakaf tunai bisa direncanakan secara baik dan bersifat abadi sehingga banyak kelompok masyarakat dapat emnikmati hasilnya secara terus-menerus.
Keempat, membangun masyarakat sejahtera: jaminan sosial bagi si miskin dan jaminan keamanan sosial bagi si kaya. Wakaf tunai dalam tahap yang makin baik, menjadi wahana terciptanya kepedulian dan kasih sayang si kaya terhadap si miskin, sehingga tercipta hubungan harmonis dan kerjasama yang baik. Wakaf tunai bisa diandalkan menebar manfaat di bidang ekonomi dan sosial bagi masyarakat secara keseluruhan.

Distribusi pendapatan merupakan bagian yang penting dalam membentuk kesejahteraan. Dampak dari distribusi pendapatan bukan saja pada aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial dan politik. Oleh karena itu islam memberi perhatian lebih terhadap disribusi pendapatan masyarakat. Maka islam memperhatikan berbagai sisi dari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Misalnya dalam jual-beli, hutang piutang, dan sebagainya. Dampak yang ditimbulkan dari distribusi pendapatan yang didasarkan atas konsep islam, diantaranya yaitu:[17]
a.       Dalam konsep islam perilaku distribusi pendapatan masyarakat merupakan bagian dari bentuk proses kesadaran masyarakat dalam mendekatkan diri kepada Allah.
b.      Seorang muslim akan menghindari praktek distribusi yang menanggung barang-barang yang merusak masyarakat. Misalnya, minuman keras, obat terlarang.
c.       Negara bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dengan mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan kelompok.
d.      Negara mempunyai tanngung jawab untuk menyediakan fasilitas public yang berhubungan dengan masalah optimalisasi distribusi pendapatan, seperti sekolah, rumah sakit.

Dalam ekonomi konvensional ada yang dikenal dengan istilah asumsi rasional yaitu anggapan bahwa manusia berperilaku secara rasional (masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat keputusan yang akan menjadikan mereka lebih buruk. Adapun jenisnya terbagi menjadi dua, yaitu self interest rationality dan present-aim rationality.[18] Dalam definisi present-aim yang penting adalah bagaimana mencapai tujuan dengan efisien tanpa mempermasalahkan tujuannya. Misalnya yaitu seorang yang mempunyai perilaku merusak dirinya sendiri, tingkah laku rasional baginya adalah bagaimana cara yang efisien untuk merusak dirinya. Sedangkan dalam definisi self interest, diasumsikan motif (niat) lah yang mendorong ia melakukan suatu perbuatan.[19] Misalnya yaitu dalam pemberian infak, Lukman yang tidak saja memikirkan pendapatannya, tetapi juga memikirkan pendapatan Arief. Secara matematis fungsi utility Lukman adalah:
UL = l(Ml, Ma)
Di mana:
UL  = utility Lukman
Ml  = pendapatan Lukman
Ma  = pendapatan Arief

 









Secara grafis keadaan ini digambarkan dengan pendapatan Arief pada sumbu X, dan pendapatan Lukman pada sumbu Y. Kurva indifference Lukman mempunyai slope negatif yang berarti ia dapat mentolerir pendapatannya berkurang untuk kenaikan pendapatan Arief.

A.           Kesimpulan
Distribusi dalam KBBI diartikan sebagai penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat. Dalam ekonomi Islam, distribusi dibagi menjadi dua, yaitu distribusi pendapatan dan distribusi kekayaan. Distribusi pendapatan bersumber dari tanah dan sejenisnya disebut dengan sewa, sedangkan yang bersumber dari tenaga kerja disebut dengan upah. Adapun distribusi kekayaan bersumber dari dana zakat, infaq, shadaqah, warisan, hibah, wasiat, wakaf, qurban, dan lain-lain.
Beberapa dampak yang ditimbulkan dari distribusi pendapatan yang didasarkan atas konsep islam, diantaranya yaitu: (1) dalam konsep islam perilaku distribusi pendapatan masyarakat merupakan bagian dari bentuk proses kesadaran masyarakat dalam mendekatkan diri kepada Allah, (2) seorang muslim akan menghindari praktek distribusi yang menanggung barang-barang yang merusak masyarakat misalnya, minuman keras, obat terlarang,(3) Negara bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dengan mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan kelompok, (4) Negara mempunyai tanngung jawab untuk menyediakan fasilitas public yang berhubungan dengan masalah optimalisasi distribusi pendapatan, seperti sekolah, rumah sakit.
Jadi inti dari teori distribusi islami itu adalah untuk memberikan kemaslahatan kepada umat, dimana semuanya itu diterapkan berdasarkan sumbernya yaitu al-qur’an dan hadits.


  
Hasanudin, Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: FDK Press, 2008)
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, jilid 2. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Manan, Muhammad Abdul, Ekonomi Islam: Teori dan Prakktek, (terjemahan), Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1993.
M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, jilid III, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1996.
Harahap, Sumuran, Fiqh Wakaf, Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Departemen Agama RI, 2007.
Karim, Adiwarman A., Ekonomi Mikro Islami, Edisi ketiga, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Kamus besar bahasa indonesia online, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
 



[1] Kamus besar bahasa indonesia online, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada tanggal 23/05/2014 pukul 14:25.
[2] Hasanudin, Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: FDK Press, 2008), hlm. 126.
[3] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, jilid 2 (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 279.
[4] Muhammad Abdul Manan, Ekonomi Islam: Teori dan Prakktek, (terjemahan), Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1993, h.56.
[5] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam..., hlm. 361.
[7] Hasanudin, Sistem Ekonomi Islam, hlm. 130-131.
[8] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam..., hlm. 362-363.
[9] Hasanudin, Sistem Ekonomi Islam..., hlm. 134.
[10] M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 222.
[11] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam..., hlm. 109-110.
[12] Hasanudin, Sistem Ekonomi Islam, hlm. 135.
[13] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, jilid III (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1996), hlm. 250.
[14] Sumuran Harahap, Fiqh Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Departemen Agama RI, 2007), hal, 1.
[15] http://sumut.kemenag.go.id/file/dokumen/WAKAFSOSIALMASADEPAN.pdf, diakses pada tanggal 23/05/2014 pukul 22:10.
[18] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Edisi ketiga (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 51.
[19] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami...., hlm. 223.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar