MELEMPAR JUMRAH DAN MABIT DI MINA
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqih Haji dan Umrah”
Dosen Pembimbing :
Dra., Hj.,
Jundah Sulaiman, MA
Disusun Oleh :
Hilmiyatul Mardiyyah : 1112053100027
Siti
Khoeriyah :
1112053100033
Lukmanul
Hakim : 1112053100034
JURUSAN MANAJEMEN HAJI DAN UMROH
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU
KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kepada Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak nikmat kepada kami sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan
kepada suri teladan kita nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, dan kita
selaku umatnya hingga akhir zaman nanti.
Maksud dan tujuan kami
(Pemakalah) membuat makalah ini agar para mahasiswa mengetahui dan memahami
kajian tentang Bagaimana mabit di Mina serta melontar jumrah. Pemakalah
sebagai manusia menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, Oleh karena itu kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.
Pemakalah ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen
Fiqih Haji dan Umrah karena atas
arahan dan bimbingannya, juga kepada semua pihak yang telah membantu kami menyelesaikan
tugas ini tepat pada waktunya. Dan harapan Pemakalah tentunya adalah makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua pada umumnya dan bagi Pemakalah sendiri
pada khususnya. Semoga makalah ini dapat membantu kita dalam memahami mata
kuliah Fiqih Haji dan
Umrah.
Jakarta, 01 November 2014
Pemakalah
A.
Melontar Jumrah
Manusia selalu merupakan sasaran empuk bagi serangan dan bisikan
setan. Melalui perantara hawa nafsu, setan berusaha menyesatkan kita, Maka dari
itu lah kita dianjurkan untuk selalu berlindung kepada Allah SWT. Dalam
pembahasan ini akan diuraikan bagaimana sejarah dan cara pelaksanaan melontar
jumrah.
1.
Sejarah Melontar Jumrah
Sejarah melontarkan jumrah di Mina, bermula dari peristiwa besar
yang amat unik dan berat yang dialami oleh Nabi Ibrahim a.s. bersama putra
kesangannya Nabi Ismail a.s. Peristiwa
besar yang benar-benar sulit dipahami bila seseorang tidak beriman kepada Allah
SWT. Bagaimana tidak, Nabi Ibrahim a.s. diperintahkan untuk menyembelih anaknya
sendiri, seorang anak yang cukup lama dinanti-nanti kehadirannya.
Setelah sekian lama Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar
dikaruniakan seorang anak, dan akhirnya permohonan Nabi Ibrahim dikabulkan lalu
lahir lah Nabi Ismail a.s. Dikala Nabi Ismail masih bayi, Allah memerintahkan
agar Nabi Ibrahim meninggalkan istrinya (Siti Hajar) dan anaknya (Nabi Ismail)
disebuah lembah yang gersang dan sunyi sepi dengan perbekalan yang seadanya
sebagai ujian bagi keimanannya, setelah itu Siti Hajar pun berjuang sendiri
demi menghidupi dan membesarkannya Nabi
Ismail, namun tak kala Nabi Ismail sudah agak besar ayahnya (Nabi Ibrahim)
membawa anaknya untuk disembelih, sungguh cobaan yang begitu berat dan sulit
dipahami jika tidak beriman.
Setelah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sudah sama-sama ikhlas
menjalankan perintah Allah untuk menyembeli Ismail dan mereka menuju tempat
penyembelihan. Dalam perjalanan menuju tempat penyembelihan Nabi Ibrahim dan
Nabi Ismail digoda oleh iblis agar tidak melaksanakan perintah Allah untuk
menyembelih Ismail. Namun, mereka (Ibrahim dan
Ismail) tidak mau tergoda oleh bisikan iblis , maka mereka melempar
iblis dengan batu krikil supaya menghentikan godaanya. Tiga kali beliau digoda dan tiga tempat pula baliau melemparkan krikil
kepada iblis sebagaimana yang diperintahkan dan dibimbing langsung oleh malaikat.
Demikianlah peristiwa pelemparan iblis terjadi di tiga tempat, ketiga tempat
itulah yang disebut dengan jumrah Al Aqaba, Al Wustha dan Al Ula. Jarak antara
Aqabah dan Wustha lebih kurang 116m, jarak antara Wustha dan Ula lebih kurang
156m.[1]
Peristiwa besar yang merupakan ujian berat bagi
kedua orang Rasul Allah yang amat tabah itu digambarkan Allah dalam Al-Qur’an surat
Ash-Shaffat ayat 100-111.
رَبِّ هب لي من الصّالحين ¤ (الصفات100)
(Nabi Ibrahim berdo’a) “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang
anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.
فبشرنهُ بغلم حليم ¤ (الصفات 101)
Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat
sabar.
فلما بلغ معه السعي قال يبني اني ارى في المنام اني
اذ بحك فانضرما ذا ترى قال يآابت افعل ما تؤ مر ستجدني ان شى ءالله منالصا برين ¤
(الصفات 102)
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:
"Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka fikirkanlah bagaimana
pendapatmu? " Ia menjawab: "wahai bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu; insya Allah ayah akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar".
فلمَّآ اسلما وتلَّه للجبين ¤ (الصفات 103)
Maka ketika keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya
atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).
ونادينه ان يَّآ ابرهيم ¤ (الصفات 104)
Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim
قد صدقت الرءيا انَّا كدلك نجزى المحسنين ¤ (الصفات
105)
sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
ان هذاالهو البلآ ؤا المبين¤ (الصفات 106)
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
وفديناه بدبحٍ عظيم¤ (الصفات 107)
Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
وتركنا عليه في الاخرين¤ (الصفات 108)
Dan Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan
orang-orang yang datang kemudian,
سلم على ابرهيم¤ (الصفات 109)
(yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim".
كذالك نجزى المحسنين¤ (الصفات 110)
Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik.
انه من عبادناالمؤمنين¤ (الصفات 111)
Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.
Inti dari ayat-ayat tersebut ialah kepatuhan Nabi Ibrahim a.s.
kepada Allah SWT dan keikhlasannya menunaikan perintah Allah, walaupun ia harus
menyembelih putranya sendiri, demikian pula Ismail yang dengan sabar dan ikhlas
menyerahkan nyawanya sebagai pelaksanaan perintah Allah terhadap ayahnya.
Keduanya (Ibrahim dan Ismail) sungguh manusia pilihan yang amat patuh dan taat
kepada Allah.
Dalam ibadah haji, melontar ketiga jumrah tersebut hukumnya wajib.
Mengusir iblis dengan cara melemparkan batu-batu kecil atau krikil ke arah
jumrah, tempat iblis dulu menggoda Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Hikmah yang terkandung dalam kewajiban melempar jumrah, mengingat
orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji agar waspada terhadap godaan
iblis yang selalu menghalangi orang yang beriman untuk menunaikan kewajibannya
kepada Allah.
2.
Pelaksanaan Melontar Jumrah
Melontar Jumrah merupakan perlambangan bsgi usaha manusia mengusir
godaan iblis, yang selalu mencari jalan untuk menggoda dan menghalangi manusia
mukmin untuk berbuat baik. Sesampai di Mina dari muzdalifaj, Sebelum melempar
jumrah pada hari-hari tasrik, yaitu 10,11,12dan 13 dzulhijjah, diwajibkan
membaca do’a berikut:
اللهم هذا منى فا منن عَلَيَّ بما مننت به على اوليا ئك واهل طاعتك.
“ya Allah, tempat ini adalah Mina, maka anugerahilah aku dengan
apa yang telah engkau anugerahkan kepada AuliaMu dan orang-orang yang taat
kepadaMu.”
Dan pada saat ingin Melontar Jumrah, maka setiap melontar 1 jumrah
yaitu 7 lontaran krikil dengan membaca do’a sebagi berikut:
بسم الله الله اكبر رجما للشيا طين ورضا للرَّحمن. اللهم اجعل حجا
مبرورا وسعيا مشكوراز
“dengan nama Allah, Allah Maha Besar, kutukan bagi segala setan
dan rida bagi Allah yang maha pengasih, ya Allah Tuhanku, jadikanlah ibadah
hajiku ini yang mabrur dan sai yang diterima.”
3.
Syarat
dan Cara Melontar
Sebagai bagian dari manasik haji, melontar jumrah harus mengikuti
kaidah tertentu. Tata caranya adalah sebagai berikut:
·
Dilaksanakan setelah bermalam di Muzdalifah
·
Pada tanggal 10 Dzulhijjah melontarkan jumrah Aqobah dengan 7 kali
lontaran
·
Dilakukan pelontaran jumrah terhadap tiga tugu secara berurutan masing-masing
7 lontaran dan dilanjutkan pada hari-hari tasyrik.
Syarat-syarat melontar jumrah ialah berniat, menggunakan batu,
karena tidak sah melontar selain menggunakan batu. Untuk setiap tempat lontaran
(jumrah) dilakukan sebanyak 7 kali dengan 7 krikil yang berbeda (one by one).
Lontarkanlah setiap batu sambil bertakbir dan membaca doa yg di atas, serta
tanamkanlah dalam jiwa dan benak anda bahwa sejak itu juga anda telah
menjadikan setan sebagai musuh.[2]
4.
Waktu melontarkan jumrah
Waktu-waktu yang dibolehkan ialah, melontar jumrah Aqabah pada hari
Nahr tanggal 10 Dzulhijjah sebagai berikut:
1.
Waktu yang Afdhal (utama) setelah terbit matahari hari Nahr.
2.
Waktu ikhtiar, siang hari sampai terbenam matahari (ghurub)
3.
Waktu jawaz, setelah lewat malam 10 dzulhijjah hingga terbit fajar
tanggal 14 dzulhijjah.
Melontar
jumrah pada hari tasyrik (tanggal
11,12,13 Dzukhijjah) waktunya adalah sebagai berikut:
1.
waktu afdhol ba’da zawal,
2.
waktu ikhtiar (sore hari sampai malam),
3.
waktu jawaz (diperbolehkan) yaitu selain waktu afdhol dan ikhtiar
dimulai dari terbit fajar hari bersangkutan.
B.
Mabit di Mina
Mina merupakan sebuah
kawasan berbukit yang panjangnya sekitar 3 hingga 5 km. Mina terletak antara
Makkah dan Muzdalifah, dengan jarak dari Makkah sekitar 7 km atau 4 km bila
melewati terowongan.[3] Mina mendapat julukan kota tenda, karena berisi tenda-tenda
untuk jutaan jamaah haji seluruh dunia. Tenda-tenda itu tetap berdiri meski musim haji
tidak berlangsung. Mina paling dikenal sebagai tempat dilaksanakannya kegiatan lempar jumrah dalam ibadah haji.[4]
Hukum Mabit di Mina dan di Luar Mina
1.
Hukum Mabit di Mina
Mengenai mabit (bermalam) di Mina tempat melontar jumrah ada dua
pendapat yaitu:[5]
a.
Pendapat Imam Malik, Imam Ibnu Hambali, dan Imam Syafi’i, mabit di
Mina pada hari-hari tasyriq hukumnya wajib, kecuali karena udzur syari’.
Apabila sama sekali tidak mabit pada hari-hari tasyriq (11,12, dan 13
Dzulhijjah) wajib membayar dam seekor kambing. Apabila meninggalkan mabit satu
malam maka wajib membayar fidyah 1 mud (3/4 liter beras atau semacamnya), dan
apabila meninggalkan mabit 2 malam (bagi yang nafar sani), maka fidyahnya2 mud.
b.
Pendapat Imam Abu Hanafiyah dan pendapat lain dari Imam Syafi’i
mabit di Mina hukumnya sunat. Apabila sama sekali tidak mabit di Mina pada
hari-hari tasyriq disunatkan membayar dam seekor kambing dan apabila hanya
sebagian saja maka di sunatkan membayar fidyah.
2.
Hukum Mabit di Luar Mina
Mengenai mabit
di luar Mina terdapat beberapa pendapat dan alasan yang dapat dijadikan dasar :[6]
a.
Sebagian ulama berpendapat dan membolehkan mabit di Mina Jadid,
serta sah mabit di sana, dengan syarat perkemahan tersebut bersambung
(ittishal) dengan perkemahan yang ada di Mina Qadim. Pendapat ini
di-qias-kan/di-ilhaq-kan dengan sahnya salat jum’at di Masjid. Jika masjid
sudah penuh maka jamaah bisa dan sah shalat di luar masjid asalkan shafnya bersambung.
Dengan pula mabit di luar Mina (Wadi al-Muhassir) adalah sah menurut syara’,
karena kemah-kemah tersebut dianggap masih bersambung (ittishal) dengan
kemah-kemah yang ada di Mina.
b.
Para ahli hukum (fuqaha) dari kalangan sahabat berpendapat bahwa kewajiban
mabit di Mina pada malam-malam tasyriq hanya bagi orang yang mampu
melakukannya, dan mendapatkan tempat yang layak. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama (jumhur). Beberapa dalil menunjukkan gugurnya kewajiban bermalam di Mina
bagi orang yang tidak mendapatkan tempat yang pantas, dan ia boleh bermalam di
mana saja, baik di Makkah, Muzdalifah,’Aziziyah, atau selainnya. Ia tidak harus
bermalam di ujung perkemahan di Mina, jalanan, gang-gang di antara tenda-tenda,
tempat di depan pancuran air, lantai, dan puncak-puncak gunung itu bukan tempat
yang layak bagi bermalamnya anak Adam (dhuyuf al-Rahman), yaitu bermalam yang
selaras dengan ruh ibadah yang agung ini. Salah satu dalil tersebut adalah
hadits dari Ibnu ra., ia berkata: Al-Abbas meminta ijin kepada Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam untuk bermalam di Makkah pada malam-malam mabit
di Mina’ untuk mengurusi air minum, lalu beliau mengijinkannya. Bila memang ada
keringanan untuk tidak bermalam di Mina bagi orang yang bertugas mengurusi
minuman, sedangkan mereka itu mendapatkan satu tempat untuk bermalam di Mina,
maka apalagi bagi orang yang tidak mendapatkan satu tempat yang layak di Mina
karena telah penuh, tentu lebih boleh.
c.
Selain itu, ulama Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa bahwa mabit
di perkemahan perluasan Mina hukumnya sah, sebagaimana pendapat Syekh Muhammad
bin Sholeh bin Utsaimin dan Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Kegiatan
Selama di Mina
Selama
di Mina, jama’ah haji melakukan beberapa hal berikut:[7]
1.
Pada tanggal 10 Zulhijjah jama’ah melakukan lontar Jumrah Aqabah.
Ini bisa dilakukan di malam hari setibanya jama’ah dari Arafah, atau keesokan
harinya sesuai dengan jadwal yang diatur oleh Maktab.
2.
Setiap kali melontar harus disertai dengan bacaan: Bismillah wa
Allah Akbar.
3.
Melakukan Tahallul Awwal (memotong/mencukur rambut) setelah
melontar jumrah al-Aqabah.
4.
Tanggal 11 Zulhijjah melontar ketiga jamarat, dimulai dari Jumrah
al-Ula, lalu Jumrah al-Wustha, dan berakhir di Jumrah al-Aqabah.
5.
Tanggal 12 Zulhijjah melontar ketiga jamarat seperti yang dilakukan
pada 11 Zulhijjah.
6.
Jama’ah yang mengikuti nafar awwal (rombongan pertama) hendaklah
meninggalkan Mina menuju Makkah sebelum terbenam matahari.
7.
Jama’ah yang mengikuti nafar tsani (rombongan kedua) masih
melakukan lontar jamarat pada tanggal 13 Zulhijjah pada tanggal 11 dan 12
Zulhijjah. Setelah itu barulah meninggalkan Mina menuju Makkah.
Setelah menunaikan ritual melontar jumrah di Mina, jama’ah haji
segera kembali ke Makkah untuk melakukan thawaf ifadhah, sa’i, dan tahallul
tsani.
[1] Zakiah Daradjat, Haji: Ibadah yang unik, (Jakarta: Ruhama, cet
8, 2000) hal 80.
[3] M. Syukron Maksum, Bimbingan Lengkap Haji dan Umrah, (Jakarta:
al-Barokah, 2013), h. 88.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Mina,_Arab_Saudi,
diakses pada tanggal 01/11/2014.
[5] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab
Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 124-125.
[6] http://www.travelhajiumroh.web.id/2012/03/mabit-di-mina.html,
diakses pada tanggal 01/11/2014.
[7] Yunasril Ali, Buku Induk Rahasia dan Makna Ibadah, (Jakarta:
zaman, 2012), h. 514.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar