BIOGRAFI KH. ABDURRAHMAN
NAWI
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah “Kepemimpinan Dakwah“
Dosen pembimbing :
Prof. Dr.
Murodi MA
Disusun Oleh :
Siti Khoeriyah 1112053100033
JURUSAN MANAJEMEN HAJI DAN UMROH
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah karena izin-Nya jualah sehingga penulis dapat
mewujudkan semua ini. Melalui usaha keras di tengah hambatan dan keterbatasan,
penulis mencoba melakukan yang terbaik untuk menyusun makalah ini dengan judul
"BIOGRAFI KH ABDURRAHMAN NAWI".
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh
penulis, baik dalam hal pengetahuan dan pengalaman.
Karena itu,
sebagai penulis saya mengharapkan dengan sangat dan dengan tangan terbuka
segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini selanjutnya. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada orang-orang yang membacanya, terutama kepada penulis
sendiri.
Penulis juga
mengucapkan terima kasih atas segala bantuan, petunjuk, saran dorongan dan izin
yang telah diberikan dari berbagai pihak semoga bernilai ibadah dan mendapatkan
imbalan yang berlipat ganda. SemogaAllah SWT memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita semua. Amin Ya Robbal Alamin.
Depok, 08 Mei 2014
Penulis
BAB IPENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada jaman Belanda dan Jepang, sebenarnya
banyak ulama Betawi yang kiprah keulamaannya cukup menonjol pada
masa itu, namun sayang sekali tidak banyak yang berhasil
didokumentasikan. Beberapa yang berhasil diketahui kiprah dan
perjuangannya diantaranya yaitu K.H. Abdullah Sjafi'i, KH
Abdurrahman Nawi, dan Guru Mansyur. Namun dalam makalah ini penulis hanya
menceritakan sekilas mengenai biografi dari KH. Abdurrahman Nawi saja. Karena kebetulan beliau juga merupakan salah
seorang tokoh ulama betawi yang berperan besar di wilayah kota Depok.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari tulisan makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana biografi KH. Abdurrahman Nawi dari mulai kelahirannya hingga
rihlah ilmiahnya?
2. Bagaimana aktivitas, gerakan dan karya KH. Abdurrahman Nawi?
3. Bagaimana paham keagamaan dari KH. Abdurrahman Nawi?
4. Bagaimana pandangan beliau terhadap masalah sosial?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
a.
Agar mahasiswa dapat mengetahui biografi KH
Abdurrahman Nawi .
b. Agar mahasiswa dapat mengetahui aktivitas, gerakan serta karya KH
Abdurrahman Nawi.
c. Agar mahasiswa dapat mengetahui bagaimana paham keagamaan dari KH
Abdurrahman Nawi.
d. Agar mahasiswa dapat mengetahui bagaimana pandangan KH Abdurrahaman Nawi
terhadap masalah sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI
1. Tempat dan Kelahiran
Tebet
Melayu Besar pada hari Jum’at bulan Safar tahun 1354 Hijriah (1933 M) lahir
seorang bayi laki-laki dari pasangan H. Nawi bin Su’id dan ‘Ainin binti Rudin,
yang diberi nama Abdurrahman.
Sebagaimana
lazimnya masyarakat Betawi yang secara turun temurun fanatik memeluk Islam dan kuat menjalankan syari’atnya,
Abdurrahman tumbuh dalam lingkungan kampung Tebet yang juga sarat dengan
nilai-nilai dan budaya keagamaan. Ada mushola yang menjadi tempat berkumpul
anak-anak untuk menjalankan shalat lima waktu dan kegiatan mengaji.
H. Nawi maupun isterinya ‘Ainin bukan seorang
tokoh agama bagi masyarakatnya. Mereka hanyalah seorang yang taat beragama dan
senang kepada ulama. Sehari-hari mereka sebagai pedagang nasi ulam di warung
Fedok. Pada waktu-waktu tertentu H. Nawi selalu menyempatkan diri untuk
mengikuti pengajian yang diadakan para ulama dan habib di Kampung Melayu atau
di Kwitang. H. Nawi yang pedagang itu mendidik puteranya Abdurrahman untuk
rajin shalat dan mengaji sebagaimana saudara-saudaranya yang lain.
2. Sejarah Pendidikan dan Rihlah Ilmiah
Mula-mula Abdurrahman belajar mengaji dengan
guru yang ada di Tebet, yaitu Mu’alim Ghazali dan Mu’alim Syarbini. Disini ia
belajar membaca al-Qur’an serta dasar-dasar akidah dan praktek ibadah. Ketekunan
Abdurrahman untuk mengaji nampak lebih giat dibanding saudara-saudara dan
anak-anak yang lain. Maka H. Nawi terus mendorongnya untuk belajar dan mengaji
dan mengingatkannya untuk tidak main-main. Gurunya yang lain, KH. Muh. Zain bin
Sa’id, pernah suatu saat memberinya wejangan, bahwa manusia itu akan dipandang
karena tiga hal, yaitu jagoan, kekayaan dan ilmu. Ketika ia ditanya: “kamu mau
jadi apa?”, maka jawabnya spontan “mau menjadi orang berilmu”. Lantas sarannya,
untuk itu tidak ada jalan lain kecuali kamu harus rajin belajar.
Kemudian jadilah Abdurrahman sebagai remaja
yang pekerjaannya setiap saat hanya mengaji dan belajar. Dari pergaulannya
sesama teman yang suka mengaji dan petunjuk guru dan orang tua, beliau tak
kehabisan guru-guru di sekitar Tebet yang di rumahnya membuka pengajian
mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab.
Di Bukit Duri beliau belajar mengaji kepada
KH. Muhammad Yunus, KH. Basri Hamdani, KH. M. Ramli dan Habib Abdurrahman
Assegaf. Beliau juga mengaji kepada KH. Muh Zain (Kebon Kelapa, Tebet), KH. M.
Arsyad bin Musthofa (Gg. Pedati, Jatinegara), KH. Mahmud (Pancoran), KH.
Musannif (Menteng Atas), KH. Ahmad Djunaedi (Pedurenan), KH. Abdullah Husein
(Kebon Baru, Tebet), KH. Abdullah Syafi’i (Matraman) serta Habib Husein al-Haddad
(Kampung Melayu). Agak jauh lagi beliau juga mengaji kepada KH. Hasbiyallah
(Klender), KH. Mu’alim (Cipete), KH. Khalid (Pulo Gadung), Habib Ali
Jamalullail dan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang), Habib Abdullah
bin Salim al-Attas (Kebon Nanas), Habib Muhammad bin Ahmad al-Hadad (Kramat
Jati), Hbib Ali bin Husein a;-Attas (Kemayoran), dan Ustad Abdullah Arifin
(Pekojan).
Meski Abdurrahman tidak pernah belajar di
sekolah maupun pesantren, namun cara belajar beliau tidak kalah dengan cara belajar
santri di pesantren. Dalam sehari beliau bisa mengikuti pelajaran di tiga
tempat, yang masing-masing dua atau tiga mata pelajaran. Sistem belajar yang
beliau ikuti biasanya memakai kitab. Guru membaca ‘ibarah dalam kitab dan
menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kemudian menerangkan maksud dari
‘ibarah tersebut dengan penjelasan yang sangat luas dan mendalam.
Semangat Abdurrahman memahami dan menguasai
pelajaran memang sangat tinggi. Setelah mendengarkan penjelasan-penjelasan
gurunya, beliau mencatat dengan baik apa yang perlu. Setelah pengajian usai,
beliau pun tidak segan-segan untuk bertanya dan berdiskusi dengan
teman-temannya untuk mengulang dan mendalami pelajaran yang sudah lewat. Beliau
tidak pernah mau ketinggalan dari teman-temannya dalam menguasai pelajaran.
Jika suatu saat beliau merasa ketinggalan, maka beliau pun berjanji “awas,
tunggu besok, ane pasti kalahkan dia”. Dan malamnya dia pun tak mau tidur
sebelum benar-benar menguasai pelajaran tersebut.
Dengan sistem belajar tidak formal selama
kurang lebih 25 tahun itu, memang beliau tidak memperoleh ijazah atau syahadah.
Tetapi hasil dari belajarnya tidak dipungkiri telah mencapai tingkat pengajaran
yang tinggi dalam sistem belajar formal. Karenanya, beliau pun akhirnya diakui
telah menguasai ilmu-ilmu Bahasa Arab dan Syari’ah yang mumpuni.
B. AKTIVITAS, GERAKAN DAN KARYA
Sebagaimana tradisi masyarakat Betawi, KH.
Abdurrahman Nawi yang oleh para murid dan keluarganya dipanggil dengan Abuya
ini, pada tahun 1962 membuka pengajian di rumahnya, Tebet Barat VIII. Pengajian
yang diberi nama As-Salafi itu mengajarkan kitab-kitab tertentu sesuai dengan
kemampuan dan minat para pesertanya. Untuk bapak-bapak dan ibu-ibu dibacakan
kitab Taqrib, Tijan Durar, Nashaih Diniyah. Sedangkan untuk pemuda dan para
ustad dibacakan Qawa’idul Lughah, Ibnu ‘Aqil, Fathul Mu’in, Bughyah
Mustarsyidin, Asybah wan-Nazhair, dan Qami’ut Thughyan. Pesertanya datang dari
beberapa kampung di Jakarta dan sekitarnya.
Dalam mengajar Buya memang cukup cermat dan
sabar. Dalam setiap pengajian ia hanya mengajar dengan kitab, agar pengajian
terarah. Berdasarkan pengalamannya belajar kepada beberapa guru dan merujuk
berbagai macam kitab, Buya berusaha menyampaikan ilmu secara sederhana agar
mudah ditangkap oleh muridnya. Prinsip Buya dalam mengajar, biar sedikit asal
betul-betul paham dari pada banyak tetapi tidak ada yang paham.
Dari sini banyak masyarakat yang senang
belajar kepada Buya. Orang yang pernah mengikuti pelajarannya pun tertarik
untuk selalu mengikutinya. Kemudian buya mendirikan sebuah pesantren yang
bernama Al-Awwabin, selain itu juga mempunyai pengajian rutin di beberapa
masjid dan majelis ta’lim, serta mengajar tetap Kitab Fathul Mu’in pada Radio
Asy-Syafi’iyyah sejak tahun 1982. Pengajian tetap yang sampai sekarang masih
berjalan antara lain:
a. MT. Al-Awwabin (Tebet Barat)
b. MT. Al-Ikhwan (Jl. Tawes, Tebet Barat)
c. MT. Al-Istiqamah (Pondok Kopi, Jakarta Timur)
d. MT. Nurul Iman, Lampiri (Pondok Kelapa, Jakarta Timur)
e. MT. Al-Barokah (Pinang Ranti)
Dan masih banyak lagi majelis yang dipimpin
oleh Buya KH. Abdurrahman Nawi ini. Selain mengajar dan berdakwah secara
langsung, beliau juga menulis kitab dalam bahasa Melayu dengan tulisan Arab,
diantaranya:
a. Al-Amtsilah at-Tashrifiyyah, tentang sharaf
b. Ilmu Nahwu Melayu, tentang ilmu nahwu
c. Sullam al-‘Ibad, tentang akidah (tauhid)
d. Tujuh Kaifiyat, tuntunan shalat-shalat sunah, dll
Adapun motivasi beliau menulis kitab-kitab
tersebut adalah untuk membantu umat Islam secara luas agar mengetahui bagaimana
ilmu dan cara menjalankan ibadah-ibadah dengan benar. Karena buya merasa bahwa
tidak semua orang itu dapat membaca dan mempelajari kitab-kitab fiqh berbahasa
Arab, oleh sebab itu maka beliau mempunyai inisiatif untuk menulis kitab bahasa
Melayu yang disusun dengan cara yang mudah, lengkap dan praktis agar setiap
orang mudah paham dan bisa mengamalkannya.
C. PAHAM KEAGAMAAN
Buya KH. Abdurrahaman Nawi adalah seorang
ulama yang secara jelas mengikuti paham keagamaan yang dianut mayoritas umat
Islam Indonesia, yaitu dalam bidang fiqh mengikuti madzhab Syafi’i, dalam
akidah mengikuti Abul Hasan al-Asy’ary, dan dalam tasawuf mengikuti Imam
al-Ghazali. Baginya, paham yang sering disebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah
itulah yang telah diajarkan oleh para ulama pendahulu dan diajarkan melalui
kitab-kitab yang mu’tabar, tidak diragukan.
Buya menegaskan bahwa kita tidak perlu
mencari-cari model sendiri, tinggal ikut dan mengamalkan. Apalagi bagi orang
awam, mereka tidak mungkin mencari sendiri paham-paham yang harus diyakini.
Mereka yang tidak tahu bahasa Arab dan tidak mampu membaca kitab-kitab itu
perlunya adalah mengikuti dan mempraktekan ajaran-ajaran agama yang sudah jadi.
Semua yang telah dijalankan dalam masyarakat adalah hasil didikan para ulama
yang tinggal dijaga dan dilestarikan, tak perlu dirubah-rubah lagi. Kalau ada
hal-hal baru, tugas para ulamanya untuk mencari dan merumuskan hukumnya dengan
merujuk pada kitab-kitab yang sudah ada, demikian pendapat beliau.
D. PANDANGAN TERHADAP MASALAH SOSIAL
Agama
merupakan pedoman hidup yang akan mengantarkan manusia menjadi sejahtera di
dunia dan akhirat. Dan peran keagamaan itu hanya dapat dilakukan oleh para
ulama, sehingga dalam suatu masyarakat haruslah ada ulama. Kalau tidak ada
ulama, manusia akan sama dengan binatang, tidak mempuyai aturan dan moral (Law
la al’ulama lashara an-nas kalbaha’im), demikian Buya menegaskan.
Menurut
Buya, dalam kehidupan
tindakan kejahatan entah itu pencurian, pemerkosaan, zina, perjudian, korupsi,
serta perbuatan munkarat dan maksiat yang lain tetap akan ada. Tidak dapat
diberantas. Karena itu Allah menetapkan hukum dan akan memberikan sanksi
siksaan. Dalam hal ini Buya mengutip kata-kata Habib Umar al-Attas: “Semua
(hukum dan ketentuan) yang ada dalam al-Qur’an akan ada pelakunya sampai hari
kiamat (kullu ma fil Qur’an ahlun ila yaum al-qiyamah).
Krisis sekarang belumlah dikatakan adzab
Allah. Karena kalau azab Allah sudah turun, pasti kita akan semua dan bumi ini
akan binasa. Dan Allah tidak akan menurunkan azabnya selama kita masih ada yang
beriman dan mohon ampun.
BAB IIIPENUTUP
A. KESIMPULAN
Abuya KH. Abdurrahman Nawi adalah seorang
tokoh ulama betawi yang merupakan pendiri pondok pesantren di tiga tempat yaitu
Sawangan, Depok, dan Tebet yang kesemua nya itu bernama Al-Awwabin. Sekalipun usianya sudah mulai dibilang senja, memasuki umur 70
tahun ini, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Awwabin ini masih mengasuh sekitar 31
majelis taklim yang ada di Jakarta ini.
Dan uniknya, dalam setiap acara yang dihadirinya KH Abdurrahman
Nawi sering duduk bersama dengan Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dan Habib
Husein bin Ali bin Husein Alattas. Karena sering bertemu dalam sebuah acara,
ketiga ulama Betawi ini oleh H. Hamzah Haz (Ketua DPP PPP dan saat itu sedang
menjabat sebagai Wakil Presiden RI) pernah menjuluki mereka ulama “Tiga
Serangkai”.
Lepas mendapat julukan Ulama “Tiga Serangkai” Betawi dari orang
nomor 2 RI itulah, akhirnya kemana-mana mereka selalu bertiga, utamanya dalam
acara-acara keagamaan yang banyak digelar oleh kalangan habaib, pemerintah
ataupun masyarakat yang ada di Jakarta ini.
Rindu sosok Abuya😭
BalasHapus