Minggu, 28 Desember 2014

baitul maal wat tamwil (BMT)

BAITUL MAL WAT TAMWIL (BMT)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah
Manajemen Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah

Dosen Pembimbing :
Drs. Hasanuddin, MA
Description: Description: Description: http://ts2.mm.bing.net/th?id=H.4539807027954841&pid=15.1&H=160&W=160

Disusun Oleh :
Siti Khoeriyah                         1112053100033



JURUSAN MANAJEMEN HAJI DAN UMROH
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kita semua sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya berjudul “Batul Mal Wat Tamwil".
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Manajemen Bank dan Lembaga Keuangan Islam Bapak Drs. Hasanuddin. MA yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun makalah ini.
Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk proses perbaikan makalah di lain waktu.
Akhir kata penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan  Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.




Jakarta, 6 Desember 2014


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
            Apa sebenarnya makna BMT di dalam sistem perekoniam umat islam? Pertanyaan ini dapatlah di jawab secara singkat sebagai berikut. Pertama, di saat krisis percaya diri dan bahaya kelaparan masal masal menghadang umat Islam Indonesia, maka BMT mengingatkan mereka pada pola pikir lain., ada prinsip prinsip pembangunan yang berbeda dari yang telah ditempuh selama ini yang perlu dan dapat dilaksanakan bukan saja untuk mengembalikan percaya diri tetapi juga untuk membangun masa depan yang lebih bermakna dan lebih kokoh.       Kedua, bahwa bilamana perekonomian umat islam ingin di bangun di atas prinsip-prinsip BMT maka umat islam Indonesia perlu mengambil keputusan untuk melaksanakan investasi besar-besaran dalam sumber daya manusia nya secepat mungkin. Investasi yang demikian itu akan menjadi andalan bagi kita semua untuk keluar dari krisis dan membangun masa depan yang lebih kokoh dan berkelanjutan.
            Inilah dua makna besar yang dipancarkan oleh BMT dalam membangun perekonomian umat islam, prinsip-prinsip operasional pembangunan yang berbeda dari prinsip-prinsip yang dilaksanakan selama ini untuk meraih suatu masa depan yang lebih cerah dan pembangunan yang lebih bermakna.[1]
B.      Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini yaitu:
1.      Apa yang dimaksud dengan Baitul Maal wat Tamwil (BMT)?
2.      Bagaimana sejarah BMT?
3.      Bagaimana prinsip operasi yang dijalankan dalam BMT?
4.      Bagaimana prosedur pendirian BMT?
5.      Apa saja kegiatan usaha yang dijalankan dalam BMT?
6.      Bagaimana strategi pengembangan BMT?
C.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu agar mahasiswa dapat:
1.    Mengetahui dan memahami pengertian BMT.
2.    Mengetahui dan memahami bagaimana sejarah BMT.
3.    Mengetahui dan memahami bagaimana prinsip operasi yang dijalankan dalam BMT.
4.    Mengetahui dan memahami bagaimana prosedur pendirian BMT.
5.    Mengetahui dan memahami kegiatan usaha yang dijalankan dalam BMT.
6.    Mengetahui dan memahami bagaimana strategi pengembangan BMT.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian, Sejarah dan Prinsip Operasi Baitul Mal Wat Tamwil (BMT)
1.    Pengertian BMT
            Baitul Maal Wattamwil (BMT) merupakan suatu lembaga yang terdiri dari dua istilah, yaitu baitulmaal dan baitul tamwil. Baitulmaal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang nonprofit, seperti: zakat, infaq, dan sedekah.[1] Sedangkan baitul tamwil lebih kepada pengembangan usaha-usaha produk dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi.[2]
2.    Sejarah BMT
·         Masa Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)[3]
 Pada masa Rasulullah SAW ini, Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menunda nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.
·         Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
 Abu Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dari Baitul Mal.
·      Masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Selama memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).
·      Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
     Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999).
·      Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.
·      Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya
    Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999).
·      Sejarah BMT di Indonesia
    Sejarah BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi usaha kecil. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) sebagai sebuah gerakan yang secara operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). BMT adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil (syari’ah), menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin.[4]
3. Prinsip Operasional BMT
Pada umumnya, kegiatan operasional dalam  Baitut Tamwil tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip yang digunakan dalam Bank Islam. Ada tiga prinsip yang dilaksanakan oleh BMT dalam fungsinya sebagai Baitut Tamwil, yaitu:[5]
a.    Prinsip bagi hasil
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang meliputi tatacara pembagian hasil usaha antara pemodal dengan pengelola dana. Pembagian bagi hasil ini dilakukan antara BMT dengan pengelola dana dan antara BMT dan penyedia dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah Mudharabah dan Musyarakah.  
b.    Prinsip jual beli dengan keuntungan ( Mark-up)
Prinsip ini merupakan suatu tata cara jual beli yang dalam pelaksanaanya BMT mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa) melakukan pembelian barang atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai penjual, menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan bagi BMT atau sering disebut margin Mark-up. Keuntungan yang diperoleh BMT akan dibagi juga kepada penyedia atau penyimpan dana. Bentuk produk prinsip ini adalah Murabahah dan Bai’ Bitsaman Ajil.
c.    Prinsip non profit
Prinsip ini disebut juga dengan pembiayaan kebijakan, prinsip ini lebih bersifat social dan tidak profit oriented. Sumber dana untuk pembiayaan ini tidak membutuhkan biaya (non cost of money) tidak seperti bentuk-bentuk pembiayaan tersebut diatas. Bentuk produk prinsip ini adalah pembiayaan Qordul Hasan.
Dalam sumber lain juga dikatakan bahwasanya dalam menjalankan kegiatannya, terdapat beberapa prinsip dalam operasional BMT, antara lain:[6]
a.    Penumbuhan
1.      Tumbuh dari masyarakat sendiri dengan dukungan tokoh masyarakat, aghniya (orang kaya) dan kelompok usaha muamalah (Poskuma) yang ada di daerah tersebut.
2.      Modal awal (Rp 20-30 juta) dikumpulkan dari para pendiri dan Poskuma dalam bentuk simpanan pokok dan simpanan khusus.
3.      Jumlah pendiri minimal 20 orang.
4.      Landasan sebaran keanggotaan yang kuat sehingga BMT tidak dikuasai oleh perorangan dalam jangka panjang.
5.      BMT adalah lembaga bisnis, membuat keuntungan, tetapi juga berkomitmen yang kuat untuk membela kaum yang lemah dalam penanggulangan kemiskinan, BMT mengelola dana amal.
b.    Profesionalitas
1.      pengelola profesional, bekerja penuh waktu, pendidikan D3-S1, mendapat pelatihan pengelolaan BMT oleh Pinbuk, memiliki komitmen kerja sepenuh hati dan perasaannya untuk mengembangkan bisnis dan lembaga BMT.
2.      Menjemput bola, aktif membaur dengan masyarakat.
3.      Pengelola profesional berlandaskan sifat amanah, siddiq, tabligh, fathonah, sabar dan istiqomah.
4.      Berlandaskan sistem dan prosedur; SOP dan sistem akutansi yang memadai.
5.      Bersedia mengikat kerjasama dengan Pinbuk untuk menerima dan membayar (secara cicilan) jasa manajemen dan teknologi informasi (termasuk on line system).
6.      Pengurus mampu melaksanakan fungsi pengawasan yang efektif.
7.      Akuntabilitas dan transparansi dalam pelaporan.
c.    Prinsip Islamiyah
1.      menerapkan cita-cita dan nilai-nilai Islam.
2.      Akad yang jelas.
3.      Rumusan penghargaan dan sanksi yang jelas dan penerapannya yang tegas/lugas.
4.      Berpihak pada yang lemah.
5.      Program pengajian/penguatan ruhiyah yang teratur dan berkala secara berkelanjutan.
B.      Prosedur Pendirian dan Kegiatan Usaha BMT
1. Prosedur Pendirian
Baitul Mal wat Tamwil (BMT) dapat didirikan dan dikembangkan dengan suatu proses legalitas hukum yang bertahap. Awalnya dapat dimulai sebagai kelompok swadaya masyarakat dengan mendapatkan sertifikat operasi/kemitraan dari PINBUK dan jika telah mencapai nilai asset tertentu segera menyiapkan diri ke dalam badan hokum koperasi.[7]
Penggunaan badan hokum kelompok swadaya masyarakat dan koperasi untuk BMT disebabkan karena BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dapat dioperasikan untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Menurut aturan yang berlaku, pihak yang berhak menyalurkan dan menghimpun dana masyarakat adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat, baik dioperasikan dengan cara konvensional maupun dengan prinsip bagi hasil.[8] Namun demikian, jika BMT dengan badan hokum KSM atau koperasi telah berkembang dan telah memenuhi syarat-syarat BPR, maka pihak manajemen dapat mengusulkan diri sebagai Bank Perkreditan Rakyat Syariah dengan badan hokum koperasi atau perseroan terbatas.
Sebelum masuk kepada langkah-langkah pendirian BMT, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu mengenai lokasi atau tempat usaha BMT. Sebaiknya berlokasi di tempat kegiatan-kegiatan ekonomi para anggotanya berlangsung, baik anggota penyimpan dana maupun pengembang usaha atau pengguna dana. Selain itu, BMT dalam operasionalnya bisa menggunakan masjid atau sekretariat pesantren sebagai basis kegiatan.
Untuk mendirikan BMT terdapat beberapa tahap-tahapan yang harus dilalui, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Perlu ada pemrakarsa, motivator yang telah mengetahui BMT. Pemrakarsa mencoba meluaskan jaringan para sahabat dengan menjelaskan tentang BMT dan perannya dalam mengangkat harkat dan martabat rakyat. Jika dukungan cukup ada, maka perlu berkonsultasi dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat yang berpengaruh, baik yang formal maupun yang informal.
2.      Di antara permrakarsa membentuk Panitia Penyiapan Pendirian BMT (P3B) di lokasi jamaah masjid, pesantren, desa miskin, kelurahan, kecamatan, atau lainnya. Jika dalam suatu kecamatan terdapat beberapa P3B, maka P3B kecamatan menjadi coordinator P3B yang ada.
3.      P3B mencari modal awal atau modal perangsang sebesar Rp. 10.000.000,- sampai dengan Rp. 30.000.000,- agar BMT memulai operasi dengan syarat modal itu. Modal awal ini dapat berasal dari perorangan, lembaga, yayasan,  BAZIS, Pemda, dan sumber lainnya.
4.      P3B bias juga mencari modal-modal pendiri (Simpanan Pokok Khusus/SPK semacam saham) dari sekitar 20-44 orang di kawasan tersebut untuk mendapatkan dana urunan. Untuk kawasan perkotaan mencapai jumlah Rp. 20 sampai 35 juta. Sedangkan untuk kawasan pedesaan SPK antara 10-20 juta. Masing-masing para pendiri perlu membuat komitmen tentang peranan masing-masing.
5.      Jika calon pemodal-pemodal pendiri telah ada, maka dipilih pengurus yang ramping (3 orang maksimal 5 orang) yang akan mewakili pendiri dalam mengarahkan kebijakan BMT. Pengurus mewakili para pemilik modal BMT.
6.      P3B atau pengurus jika telah ada mencari dan memilih calon pengelola BMT.
7.      Mempersiapkan legalitas hokum untuk usaha sebagai:
a.       KSM/LKM dengan mengirim surat ke PINBUK.
b.      Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Syariah atau Koperasi Serba Usaha (KSU) unit syariah dengan menghubungi kepala kantor/dinas/badan koperasi dan Pembina pengusaha kecil di ibu kota kabupaten/kota.
8.      Melatih calon pengelola sebaiknya juga diikuti oleh satu orang pengurus dengan menghubungi kampung PINBUK terdekat.
9.      Melaksanakan persiapan-persiapan sarana kantor dan berkas administrasi yang diperlukan.
10.  Melaksanakan bisnis operasi BMT.
Setelah BMT didirikan maka perlu diperhatikan bahwa struktur organisasi BMT yang paling sederhana harus terdiri dari badan pendiri, badan pengawas, anggota BMT, dan badan pengelola.
Dapat dijelaskan bahwa badan pendiri adalah orang-orang yang mendirikan BMT dan mempunyai hak prerogatif yang seluas-luasnya dalam menentukan arah dan kebijakan BMT. Dalam kapasitas ini, badan pendiri adalah salah satu struktur dalam BMT yang berhak mengubah anggaran dasar dan bahkan sampai membubarkan BMT.
Badan pengawas adalah badan yang berwenang dalam menetapkan kebijakan operasional BMT. Yang termasuk ke dalam kebijakan operasional adalah anatara lain memilih badan pengelola, menelaah dan memeriksa pembukuan BMT, dan memberikan saran kepada badan pengelola berkenaan dengan operasional BMT. Pihak-pihak yang bias masuk menjadi badan pengawas ini adalah anggota badan pendiri, penyerta modal awal yang memiliki penyertaan tetap, dan anggota BMT yang diangkat dan ditetapkan badan pendiri atas usulan badan pengawas.
Anggota BMT adalah orang-orang yang secara resmi mendaftarkan diri sebagai anggota BMT dan dinyatakan diterima oleh badan pengelola. Selain hak untuk mendapatkan keuntungan atau menanggung kerugian yang diperoleh BMT, anggota juga memiliki hak untuk memilih dan dipilih sebagai badan anggota pengawas. Anggota BMT bisa terdiri dari para pendiri dan para anggota biasa yang mendaftarkan diri setelah BMT berdiri dan beroperasi.
Badan pengelola adalah sebuah badan yang mengelola BMT serta dipilih dari dan oleh anggota badan pengawas (badan pendiri dan perwakilan anggota). Sebagai pengelola BMT, badan pengelola ini biasanya memiliki struktur organisasi tersendiri. Struktur organisasi pengelola BMT secara umum dapat disusun baik secara sederhana maupun secara lengkap.
2. Kegiatan Usaha BMT
Baitul Mal wat Tamwil merupakan lembaga keuangan mikro syariah yang menjalankan fungsi menghimpun dana dan menyalurkannya. BMT dalam usaha penghimpunan dana dari masyarakat berupa simpanan mempunyai beberapa jenis usaha sebagai berikut:[9]
a.    Simpanan biasa;
b.    Simpanan pendidikan;
c.    Simpanan haji;
d.   Simpanan umrah;
e.    Simpanan qurban;
f.     Simpanan Idul Fitri;
g.    Simpanan walimah;
h.    Simpanan akikah;
i.      Simpanan perumahan (pembangunan dan perbaikan);
j.      Simpanan kunjungan wisata; dan
k.    Simpanan mudarabah berjangka (semacam deposito 1, 3, 6, 12 bulan).
Sedangkan BMT dalam usaha menyalurkan dana kepada masyarakat berupa pembiayaan mempunyai beberapa jenis usaha sebagai berikut:
a.       Pembiayaan sewa barang (al-Ijaroh)
b.      Pembiayaan modal kerja (Murabahah)
c.       Pembiayaan bagi hasil (Mudharabah)
d.      Pembiayaan kerjasama (Musyarakah)
e.       Pembiayaan investasi (Bai bi tsaman ajil)
f.       Pembiayaan kebijakan (Qhardul hasan)
C.      Strategi Pengembangan BMT
Semakin berkembangnya masalah ekonomi masyarakat, maka berbagai kendala tidak mungkin terlepaskan dari keberadaan BMT. Berikut beberapa strategi untuk mempertahankan eksistensi BMT :[10]
a.    Sumber daya manusia kurang memadai kebanyakan berkorelasi dari tingkat pendidikan dan pengetahuan. BMT dituntut meningkatkan sumber daya melalui pendidikan baik formal ataupun non formal. Misal bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan bisnis Islami. 
b.    Strategi pemasaran yang local oriented berdampak pada lemahnya mensosialisaikan produk BMT maka untuk meningkatkan tehnik pemasaran perlunya memperkenalkan eksistensi BMT di masyarakat.
c.    Perlunya inovasi.
d.    Untuk meningkatkan kualitas layanan BMT diperlukan pengetahuan stategi dalam bisnis (bussines stategy).
e.            Diperlukan pengetahuan mengenai aspek bisnis islami sekaligus meningkatkan muatan-muatan islam dalam setiap perilaku pengelola dan karyawan BMT dengan masyarakat pada umumnya dan nasabah pada khususnya.
f.     Perlu adanya evaluasi bersama guna memerikan peluang bagi BMT untuk lebih kompetitif. Dengan cara mendirikan lembaga evaluasi BMT atau sertifikasi BMT. Yang berfungsi untuk memberikan laporan peringkat kinerja kwartal atau tahunan BMT di seluruh Indonesia.











BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
            Baitul mal wa tamwil adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan  kecil dalam rangka mengangkat martabat dan serta membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi Baitul Tamwil (Bait = Rumah, At Tamwil = Pengembangan Harta). Jadi BMT adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha proktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegitan ekonomi pengusaha bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan.
            Penggunaan badan hokum kelompok swadaya masyarakat dan koperasi untuk BMT disebabkan karena BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dapat dioperasikan untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Menurut aturan yang berlaku, pihak yang berhak menyalurkan dan menghimpun dana masyarakat adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat, baik dioperasikan dengan cara konvensional maupun dengan prinsip bagi hasil. Namun demikian, jika BMT dengan badan hokum KSM atau koperasi telah berkembang dan telah memenuhi syarat-syarat BPR, maka pihak manajemen dapat mengusulkan diri sebagai Bank Perkreditan Rakyat Syariah dengan badan hokum koperasi atau perseroan terbatas.


DAFTAR PUSTAKA
Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. 2010. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis. Jakarta: Kencana.
Lulail Yunus, Jamal. 2009. Manajemen Bank Syari’ah. Malang: UIN-Malang Press.
Rahmawati, Yuke. 2013. Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah. Tangerang: UIN Jakarta Press.
Soemitra, Andri. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana.
Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta: Ekonisia.





[1] Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 363.
[2] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 451.
[4] M. Amin Azis, Tata Cara Pendirian BMT (Jakarta: PKES Publishing, 2008)
[5] Jamal Lulail Yunus, Manajemen Bank Syari’ah (Malang: UIN-Malang Press, 2009), 35.
[6] Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (Tangerang: UIN JAKARTA PRESS, 2013), hlm. 24.
[7] Karnaen A. Perwataatmaja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia (Depok: Uasaha Kami, 1996), hlm. 216.
[8] Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 53-57.
[9] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga..., hlm. 463.
[10]Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi (Yogyakarta :Ekonisia, 2003), hlm. 109.













[1] Baihaqi Abd Madjid dan Saifuddin A. Rasyid, Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistim Syari’ah(Jakarta: PINBUK, 2000) hal 209.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar