BAITUL MAL WAT
TAMWIL (BMT)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah
“Manajemen Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah“
Dosen Pembimbing :
Drs. Hasanuddin, MA
Disusun Oleh :
Siti Khoeriyah 1112053100033
JURUSAN MANAJEMEN
HAJI DAN UMROH
FAKULTAS ILMU
DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kita semua sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini yang
Alhamdulillah tepat pada waktunya berjudul “Batul Mal Wat Tamwil".
Tidak lupa
penulis ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Manajemen Bank dan
Lembaga Keuangan Islam Bapak Drs. Hasanuddin. MA yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menyusun makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk proses perbaikan
makalah di lain waktu.
Akhir kata
penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan Makalah ini dari awal
sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Jakarta, 6 Desember 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apa
sebenarnya makna BMT di dalam sistem perekoniam umat islam? Pertanyaan ini
dapatlah di jawab secara singkat sebagai berikut. Pertama, di saat krisis percaya diri dan bahaya kelaparan masal
masal menghadang umat Islam Indonesia, maka BMT mengingatkan mereka pada pola
pikir lain., ada prinsip prinsip pembangunan yang berbeda dari yang telah
ditempuh selama ini yang perlu dan dapat dilaksanakan bukan saja untuk
mengembalikan percaya diri tetapi juga untuk membangun masa depan yang lebih
bermakna dan lebih kokoh. Kedua, bahwa bilamana perekonomian umat
islam ingin di bangun di atas prinsip-prinsip BMT maka umat islam Indonesia
perlu mengambil keputusan untuk melaksanakan investasi besar-besaran dalam
sumber daya manusia nya secepat mungkin. Investasi yang demikian itu akan
menjadi andalan bagi kita semua untuk keluar dari krisis dan membangun masa
depan yang lebih kokoh dan berkelanjutan.
Inilah dua makna
besar yang dipancarkan oleh BMT dalam membangun perekonomian umat islam,
prinsip-prinsip operasional pembangunan yang berbeda dari prinsip-prinsip yang
dilaksanakan selama ini untuk meraih suatu masa depan yang lebih cerah dan
pembangunan yang lebih bermakna.[1]
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan Baitul Maal wat Tamwil (BMT)?
2. Bagaimana sejarah BMT?
3. Bagaimana prinsip operasi yang dijalankan dalam BMT?
4. Bagaimana prosedur pendirian BMT?
5. Apa saja kegiatan usaha yang dijalankan dalam BMT?
6. Bagaimana strategi pengembangan BMT?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu agar mahasiswa dapat:
1. Mengetahui dan memahami pengertian BMT.
2. Mengetahui dan memahami bagaimana sejarah BMT.
3. Mengetahui dan memahami bagaimana prinsip operasi yang dijalankan dalam
BMT.
4. Mengetahui dan memahami bagaimana prosedur pendirian BMT.
5. Mengetahui dan memahami kegiatan usaha yang dijalankan dalam BMT.
6. Mengetahui dan memahami bagaimana strategi pengembangan BMT.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian,
Sejarah dan Prinsip Operasi Baitul Mal Wat Tamwil (BMT)
1. Pengertian BMT
Baitul Maal Wattamwil (BMT)
merupakan suatu lembaga yang terdiri dari dua istilah, yaitu baitulmaal dan
baitul tamwil. Baitulmaal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan
penyaluran dana yang nonprofit, seperti:
zakat, infaq, dan
sedekah.[1] Sedangkan
baitul tamwil lebih kepada pengembangan usaha-usaha produk dan investasi dalam
meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil dengan antara lain
mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi.[2]
2. Sejarah BMT
·
Masa Rasulullah
SAW (1-11 H/622-632 M)[3]
Pada
masa Rasulullah SAW ini, Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak
(al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa
pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat
khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu
banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi bagikan
kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka.
Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya
(al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menunda nundanya lagi. Dengan
kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.
·
Masa Khalifah
Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Abu
Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah
harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau
tetap berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk
keperluan diri dan keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M),
penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi
sebagai pedagang membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di
pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu
dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu
Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya,
padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar
menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar
berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia
menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang
segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar,
sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun
yang diambil dari Baitul Mal.
·
Masa Khalifah
Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Selama
memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati,
menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan
mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya,
yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan
mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak
dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim
panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan
sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah
seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).
·
Masa Khalifah
Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun,
karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan
protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad
menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang
sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah
mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada
enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima
ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah,
memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir serta memberikan harta yang
banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu
sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga
menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, ‘Abu Bakar
dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku telah
mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku.’ Itulah
sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999).
·
Masa Khalifah
Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali
pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal,
seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa
menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan
tambalan.
·
Masa
Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani
Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa
sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah
SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal
berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau
dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999).
·
Sejarah BMT di
Indonesia
Sejarah BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa
ITB di Masjid Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan
syari’ah bagi usaha kecil. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh ICMI (Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia) sebagai sebuah gerakan yang secara operasional
ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). BMT adalah
lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil (syari’ah),
menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka mengangkat derajat
dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin.[4]
3.
Prinsip Operasional BMT
Pada umumnya, kegiatan operasional dalam Baitut
Tamwil tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip yang digunakan dalam Bank
Islam. Ada tiga prinsip yang dilaksanakan oleh BMT dalam fungsinya
sebagai Baitut Tamwil, yaitu:[5]
a.
Prinsip bagi hasil
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang meliputi tatacara pembagian
hasil usaha antara pemodal dengan pengelola dana. Pembagian bagi hasil ini
dilakukan antara BMT dengan pengelola dana dan antara BMT dan penyedia dana.
Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini
adalah Mudharabah dan Musyarakah.
b.
Prinsip jual beli dengan keuntungan ( Mark-up)
Prinsip ini merupakan suatu tata cara jual beli yang dalam pelaksanaanya
BMT mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa) melakukan pembelian
barang atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai penjual, menjual barang
tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan
bagi BMT atau sering disebut margin Mark-up. Keuntungan yang diperoleh BMT akan
dibagi juga kepada penyedia atau penyimpan dana. Bentuk produk prinsip ini
adalah Murabahah dan Bai’
Bitsaman Ajil.
c.
Prinsip non profit
Prinsip
ini disebut juga dengan pembiayaan kebijakan, prinsip ini lebih bersifat
social dan tidak profit oriented. Sumber dana untuk pembiayaan ini
tidak membutuhkan biaya (non cost of money) tidak seperti bentuk-bentuk
pembiayaan tersebut diatas. Bentuk produk prinsip ini adalah
pembiayaan Qordul Hasan.
Dalam sumber lain juga dikatakan bahwasanya dalam menjalankan kegiatannya,
terdapat beberapa prinsip dalam operasional BMT, antara lain:[6]
a. Penumbuhan
1. Tumbuh dari masyarakat sendiri dengan dukungan tokoh masyarakat, aghniya (orang
kaya) dan kelompok usaha muamalah (Poskuma) yang ada di daerah tersebut.
2. Modal awal (Rp 20-30 juta) dikumpulkan dari para pendiri dan Poskuma dalam
bentuk simpanan pokok dan simpanan khusus.
3. Jumlah pendiri minimal 20 orang.
4. Landasan sebaran keanggotaan yang kuat sehingga BMT tidak dikuasai oleh
perorangan dalam jangka panjang.
5. BMT adalah lembaga bisnis, membuat keuntungan, tetapi juga berkomitmen yang
kuat untuk membela kaum yang lemah dalam penanggulangan kemiskinan, BMT
mengelola dana amal.
b. Profesionalitas
1. pengelola profesional, bekerja penuh waktu, pendidikan D3-S1, mendapat
pelatihan pengelolaan BMT oleh Pinbuk, memiliki komitmen kerja sepenuh hati dan
perasaannya untuk mengembangkan bisnis dan lembaga BMT.
2. Menjemput bola, aktif membaur dengan masyarakat.
3. Pengelola profesional berlandaskan sifat amanah, siddiq, tabligh, fathonah, sabar dan istiqomah.
4. Berlandaskan sistem dan prosedur; SOP dan sistem akutansi yang memadai.
5. Bersedia mengikat kerjasama dengan Pinbuk untuk menerima dan membayar (secara
cicilan) jasa manajemen dan teknologi informasi (termasuk on line system).
6. Pengurus mampu melaksanakan fungsi pengawasan yang efektif.
7. Akuntabilitas dan transparansi dalam pelaporan.
c. Prinsip Islamiyah
1. menerapkan cita-cita dan nilai-nilai Islam.
2. Akad yang jelas.
3. Rumusan penghargaan dan sanksi yang jelas dan penerapannya yang
tegas/lugas.
4. Berpihak pada yang lemah.
5. Program pengajian/penguatan ruhiyah yang teratur dan berkala secara
berkelanjutan.
B. Prosedur
Pendirian dan Kegiatan Usaha BMT
1. Prosedur Pendirian
Baitul Mal wat
Tamwil (BMT) dapat didirikan dan dikembangkan dengan suatu proses legalitas
hukum yang bertahap. Awalnya dapat dimulai sebagai kelompok swadaya masyarakat
dengan mendapatkan sertifikat operasi/kemitraan dari PINBUK dan jika telah
mencapai nilai asset tertentu segera menyiapkan diri ke dalam badan hokum
koperasi.[7]
Penggunaan
badan hokum kelompok swadaya masyarakat dan koperasi untuk BMT disebabkan
karena BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan dalam
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dapat dioperasikan untuk
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Menurut aturan yang berlaku, pihak
yang berhak menyalurkan dan menghimpun dana masyarakat adalah bank umum dan
bank perkreditan rakyat, baik dioperasikan dengan cara konvensional maupun
dengan prinsip bagi hasil.[8]
Namun demikian, jika BMT dengan badan hokum KSM atau koperasi telah berkembang
dan telah memenuhi syarat-syarat BPR, maka pihak manajemen dapat mengusulkan
diri sebagai Bank Perkreditan Rakyat Syariah dengan badan hokum koperasi atau
perseroan terbatas.
Sebelum masuk
kepada langkah-langkah pendirian BMT, ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
yaitu mengenai lokasi atau tempat usaha BMT. Sebaiknya berlokasi di tempat
kegiatan-kegiatan ekonomi para anggotanya berlangsung, baik anggota penyimpan
dana maupun pengembang usaha atau pengguna dana. Selain itu, BMT dalam operasionalnya
bisa menggunakan masjid atau sekretariat pesantren sebagai basis
kegiatan.
Untuk
mendirikan BMT terdapat beberapa tahap-tahapan yang harus dilalui, dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Perlu
ada pemrakarsa, motivator yang telah mengetahui BMT. Pemrakarsa mencoba
meluaskan jaringan para sahabat dengan menjelaskan tentang BMT dan perannya
dalam mengangkat harkat dan martabat rakyat. Jika dukungan cukup ada, maka
perlu berkonsultasi dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat yang berpengaruh,
baik yang formal maupun yang informal.
2.
Di
antara permrakarsa membentuk Panitia Penyiapan Pendirian BMT
(P3B) di lokasi jamaah masjid, pesantren, desa miskin, kelurahan, kecamatan,
atau lainnya. Jika dalam suatu kecamatan terdapat beberapa P3B, maka P3B
kecamatan menjadi coordinator P3B yang ada.
3.
P3B
mencari modal awal atau modal perangsang sebesar Rp. 10.000.000,- sampai dengan
Rp. 30.000.000,- agar BMT memulai operasi dengan syarat modal itu. Modal awal
ini dapat berasal dari perorangan, lembaga, yayasan, BAZIS, Pemda, dan sumber lainnya.
4.
P3B
bias juga mencari modal-modal pendiri (Simpanan Pokok Khusus/SPK semacam saham)
dari sekitar 20-44 orang di kawasan tersebut untuk mendapatkan dana urunan.
Untuk kawasan perkotaan mencapai jumlah Rp. 20 sampai 35 juta. Sedangkan untuk
kawasan pedesaan SPK antara 10-20 juta. Masing-masing para pendiri perlu
membuat komitmen tentang peranan masing-masing.
5.
Jika
calon pemodal-pemodal pendiri telah ada, maka dipilih pengurus yang ramping (3
orang maksimal 5 orang) yang akan mewakili pendiri dalam mengarahkan kebijakan
BMT. Pengurus mewakili para pemilik modal BMT.
6.
P3B
atau pengurus jika telah ada mencari dan memilih calon pengelola BMT.
7.
Mempersiapkan
legalitas hokum untuk usaha sebagai:
a.
KSM/LKM
dengan mengirim surat ke PINBUK.
b.
Koperasi
Simpan Pinjam (KSP) Syariah atau Koperasi Serba Usaha (KSU) unit syariah dengan
menghubungi kepala kantor/dinas/badan koperasi dan Pembina pengusaha kecil di
ibu kota kabupaten/kota.
8.
Melatih
calon pengelola sebaiknya juga diikuti oleh satu orang pengurus dengan
menghubungi kampung PINBUK terdekat.
9.
Melaksanakan
persiapan-persiapan sarana kantor dan berkas administrasi yang diperlukan.
10.
Melaksanakan
bisnis operasi BMT.
Setelah BMT
didirikan maka perlu diperhatikan bahwa struktur organisasi BMT yang paling
sederhana harus terdiri dari badan pendiri, badan pengawas, anggota BMT, dan
badan pengelola.
Dapat
dijelaskan bahwa badan pendiri adalah orang-orang yang mendirikan BMT dan
mempunyai hak prerogatif yang seluas-luasnya dalam menentukan arah dan
kebijakan BMT. Dalam kapasitas ini, badan pendiri adalah salah satu struktur
dalam BMT yang berhak mengubah anggaran dasar dan bahkan sampai membubarkan
BMT.
Badan pengawas
adalah badan yang berwenang dalam menetapkan kebijakan operasional BMT. Yang
termasuk ke dalam kebijakan operasional adalah anatara lain memilih badan
pengelola, menelaah dan memeriksa pembukuan BMT, dan memberikan saran kepada
badan pengelola berkenaan dengan operasional BMT. Pihak-pihak yang bias masuk
menjadi badan pengawas ini adalah anggota badan pendiri, penyerta modal awal
yang memiliki penyertaan tetap, dan anggota BMT yang diangkat dan ditetapkan
badan pendiri atas usulan badan pengawas.
Anggota BMT
adalah orang-orang yang secara resmi mendaftarkan diri sebagai anggota BMT dan
dinyatakan diterima oleh badan pengelola. Selain hak untuk mendapatkan
keuntungan atau menanggung kerugian yang diperoleh BMT, anggota juga memiliki
hak untuk memilih dan dipilih sebagai badan anggota pengawas. Anggota BMT bisa
terdiri dari para pendiri dan para anggota biasa yang mendaftarkan diri setelah
BMT berdiri dan beroperasi.
Badan pengelola
adalah sebuah badan yang mengelola BMT serta dipilih dari dan oleh anggota
badan pengawas (badan pendiri dan perwakilan anggota). Sebagai pengelola BMT,
badan pengelola ini biasanya memiliki struktur organisasi tersendiri. Struktur
organisasi pengelola BMT secara umum dapat disusun baik secara sederhana maupun
secara lengkap.
2. Kegiatan Usaha BMT
Baitul Mal wat
Tamwil merupakan
lembaga keuangan mikro syariah yang menjalankan
fungsi menghimpun dana dan menyalurkannya. BMT dalam usaha penghimpunan dana dari
masyarakat berupa simpanan mempunyai beberapa jenis usaha sebagai berikut:[9]
a.
Simpanan
biasa;
b.
Simpanan
pendidikan;
c.
Simpanan
haji;
d.
Simpanan
umrah;
e.
Simpanan
qurban;
f.
Simpanan
Idul Fitri;
g.
Simpanan
walimah;
h.
Simpanan
akikah;
i.
Simpanan
perumahan (pembangunan dan perbaikan);
j.
Simpanan
kunjungan wisata; dan
k.
Simpanan
mudarabah berjangka (semacam deposito
1, 3, 6, 12 bulan).
Sedangkan BMT dalam usaha menyalurkan dana kepada
masyarakat berupa pembiayaan mempunyai beberapa jenis usaha sebagai berikut:
a. Pembiayaan sewa barang (al-Ijaroh)
b.
Pembiayaan modal kerja (Murabahah)
c.
Pembiayaan bagi hasil (Mudharabah)
d.
Pembiayaan kerjasama (Musyarakah)
e.
Pembiayaan investasi (Bai bi tsaman ajil)
f.
Pembiayaan kebijakan (Qhardul hasan)
C. Strategi Pengembangan BMT
Semakin berkembangnya masalah ekonomi masyarakat, maka berbagai kendala tidak mungkin terlepaskan
dari keberadaan BMT. Berikut beberapa strategi untuk mempertahankan eksistensi
BMT :[10]
a. Sumber
daya manusia kurang memadai kebanyakan berkorelasi dari tingkat pendidikan dan
pengetahuan. BMT dituntut meningkatkan sumber daya melalui pendidikan baik formal ataupun non formal. Misal bekerja sama dengan
lembaga pendidikan dan bisnis Islami.
b. Strategi pemasaran yang local oriented berdampak
pada lemahnya mensosialisaikan produk BMT maka untuk meningkatkan tehnik pemasaran perlunya memperkenalkan eksistensi BMT di masyarakat.
c. Perlunya inovasi.
d. Untuk meningkatkan kualitas layanan BMT
diperlukan pengetahuan stategi dalam bisnis (bussines stategy).
e. Diperlukan pengetahuan mengenai aspek
bisnis islami sekaligus meningkatkan muatan-muatan islam dalam setiap perilaku
pengelola dan karyawan BMT dengan masyarakat pada umumnya dan nasabah pada
khususnya.
f. Perlu adanya evaluasi bersama guna memerikan
peluang bagi BMT untuk lebih kompetitif. Dengan cara mendirikan lembaga
evaluasi BMT atau sertifikasi BMT. Yang berfungsi untuk memberikan laporan
peringkat kinerja kwartal atau tahunan BMT di seluruh Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Baitul
mal wa tamwil adalah
lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan
bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka mengangkat martabat dan serta
membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua
fungsi Baitul Tamwil (Bait = Rumah, At Tamwil =
Pengembangan Harta). Jadi BMT adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya
berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan
usaha-usaha proktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegitan ekonomi
pengusaha bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan
menunjang pembiayaan kegiatan.
Penggunaan badan
hokum kelompok swadaya masyarakat dan koperasi untuk BMT disebabkan karena BMT
tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan dalam UU No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dapat dioperasikan untuk menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat. Menurut aturan yang berlaku, pihak yang berhak
menyalurkan dan menghimpun dana masyarakat adalah bank umum dan bank
perkreditan rakyat, baik dioperasikan dengan cara konvensional maupun dengan
prinsip bagi hasil. Namun demikian, jika BMT dengan badan hokum KSM atau
koperasi telah berkembang dan telah memenuhi syarat-syarat BPR, maka pihak
manajemen dapat mengusulkan diri sebagai Bank Perkreditan Rakyat Syariah dengan
badan hokum koperasi atau perseroan terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. 2010. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan
Teoretis dan Praktis. Jakarta: Kencana.
Lulail
Yunus, Jamal. 2009. Manajemen Bank
Syari’ah. Malang: UIN-Malang Press.
Rahmawati, Yuke. 2013. Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah. Tangerang:
UIN Jakarta Press.
Soemitra, Andri. 2009. Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana.
Sudarsono, Heri. 2003. Bank
dan Lembaga Keuangan
Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta: Ekonisia.
[1]
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga
Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis (Jakarta: Kencana, 2010),
hlm. 363.
[2] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 451.
[3] http://iesacentre.blogspot.com/2013/01/sejarah-perkembangan-bmt.html, diakses pada tanggal 01/12/2014
[5] Jamal
Lulail Yunus, Manajemen Bank Syari’ah (Malang: UIN-Malang
Press, 2009), 35.
[6] Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro
Syari’ah (Tangerang: UIN JAKARTA PRESS, 2013), hlm. 24.
[7]
Karnaen A. Perwataatmaja, Membumikan
Ekonomi Islam di Indonesia (Depok: Uasaha Kami, 1996), hlm. 216.
[8]
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan
Islam di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2002, hlm. 53-57.
[9] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga...,
hlm. 463.
[10]Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi (Yogyakarta :Ekonisia, 2003), hlm. 109.
[1]
Baihaqi Abd Madjid dan Saifuddin A. Rasyid, Paradigma
Baru Ekonomi Kerakyatan Sistim Syari’ah(Jakarta: PINBUK, 2000) hal 209.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar